Orang-orang mendengarkan Presiden Rusia Vladimir Putin berpidato dari lokasi pembangunan jembatan Selat Kerch di Pulau Tuzla, selama perayaan dua tahun bergabungnya Krima ke Rusia di Lapangan Merah, Moskow, Rusia 18 Maret 2016.
APApakah Vladimir Putin ingin membangkitkan Uni Soviet? Tak ada yang bisa membantah ia tak menginginkannya. Namun, tak ada pula yang bisa membuktikan bahwa Barack Obama tak ingin menjadikan Amerika Serikat sebagai sebuah monarki atau Bill Bailey, komedian asal Inggris, tak punya keinginan untuk menjadi Dalai Lama jilid baru.
Jelas bahwa Putin memiliki nostalgia akan masa lalu Soviet, yang umum bagi orang seusianya dengan latar belakang yang ia miliki. Saya juga memiliki nostalgia akan masa-masa 1970 dan 1980-an: masa kanak-kanak dan remaja saya, dengan semua hal yang indah dan tak terlupakan, yang memiliki asosiasi unik dengan periode tersebut dalam kehidupan.
Jika kita menyingkirkan semua mimpi, harapan, keinginan tersembunyi, serta nostalgia, bisakah Putin merencanakan secara realistis untuk mengembalikan Uni Soviet? Jawabannya jelas ‘tidak’, dengan asumsi bahwa sang pemimpin Rusia adalah seorang politikus rasional yang mampu mempertimbangkan secara realistis kemampuan Rusia saat ini serta kondisi sistem internasional dewasa ini.
Pertama, Uni Soviet berdiri dengan fondasi ideologi komunis yang kohesif dan berkuasa yang kala itu — setidaknya pada paruh pertama abad ke-20 — memiliki ratusan juta pendukung di seluruh dunia.
Sementara Kremlin saat ini menekankan ‘kedaulatan’ dan kekhawatiran mendesak mengenai ‘revolusi warna’ yang mendemonstrasikan paham isolasi daripada ekspansi yang merefleksikan rezim; keduanya merupakan bukti ketakutan akan ideologi asing memasuki Rusia daripada intensi untuk mempromosikan ideologi universalis lain ke negara lain.
Kedua, Uni Soviet memiliki model modernisasi unik pada fondasinya. Model tersebut jahat dan kejam, tapi sangat efisien dalam mobilisasi politik dan sosial dalam banyak hal. Contoh paling nyata dari kapasitas ini, tentu, Perang Dunia II. Namun, terdapat contoh-contoh lain, seperti program antariksa Soviet. Saat ini, keunikan tersebut tak lagi ada — Rusia telah menjadi negara kapitalis, sekalipun jika transisinya dari komunisme belum sempurna dan belum koheren.
Ketiga, sederhananya, bukan keinginan dan komitmen politiklah yang dibutuhkan untuk mulai mengembalikan Uni Soviet. Setelah reunifikasi Jerman, Berlin memperkenalkan ‘pajak solidaritas’ untuk memfasilitasi integrasi bekas Jerman Timur ke Republik Federal; masyarakat Jerman menerima beban tambahan tersebut tanpa banyak pertentangan. Namun, ide yang serupa dengan ‘pajak solidaritas’ untuk mengintegrasikan Krimea dengan Rusia tak mendapat dukungan di Moskow dan dengan cepat terlupakan.
Apakah ini berarti Rusia tak mencoba mempertahankan pengaruhnya di wilayah bekas Uni Soviet? Tentu tidak. Bekas republik Soviet tak sama bagi Rusia seperti koloni Kerajaan Inggris di Afrika bagi Inggris Raya; level integrasi ekonomi, sosial, dan budaya Soviet membuat republik-republik tersebut lebih seperti Irlandia dan Skotlandia.
Kisah kebijakan-kebijakan Kremlin bagi tetangga-tetangganya selama 25 tahun terakhir ialah serangkaian upaya — yang kebanyakan agak ceroboh dan tak berhasil — untuk menciptakan sabuk negara-negara yang bersahabat di sepanjang perbatasan Rusia, untuk menjaga ikatan ekonomi, sosial, dan kemanusiaan yang memiliki akar mendalam pada sejarah wilayah yang luas ini.
Kumandang jangka panjang krisis di Georgia dan Ukraina membuat tujuan tersebut lebih sulit. Namun, konflik-konflik berdarah tersebut bahkan tak mengubah realitas fundamental: Rusia bisa aman dan makmur hanya jika dikelilingi tetangga yang stabil, bersemangat, dan bersahabat.
Upaya terbaru untuk menjalankan misi yang menakutkan ini ialah konsep Uni Ekonomi Eurasia (UEE). Apakah Barat perlu khawatir akan hal tersebut? Adakah upaya terselubung untuk membangkitkan kembali Uni Soviet?
Sekali lagi, jawaban saya adalah ‘tidak’. Menurut saya, UEE bersifat entah tak ada harapan atau tak berbahaya. Ia tak ada harapan jika tetap menjadi ‘aliansi suci’ dari rezim ekonomi dan sosial kuno yang tak mampu dan tak bersedia memulai reformasi yang berarti. Ia tak berbahaya jika integrasi ekonomi Eurasia sejalan dengan transformasi mendalam negara-negara anggotanya ke arah pasar bebas, inovasi sosial, dan pluralisme politik. Dalam kasus terakhir, Rusia mungkin akhirnya dapat melewati trauma pascakekaisaran tanpa mengakumulasikan konsekuensi yang ditimbulkan akibat peperangan.
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Kenapa Uni Soviet gagal diselamatkan?
Kenapa wilayah-wilayah bekas Uni Soviet masih terus memanas?
Bagaimana persepsi tokoh-tokoh dunia terhadap Gorbachev?
Apakah Uni Soviet benar-benar menganggap Tiongkok sekutunya?
Benarkah dunia berutang pada Uni Soviet?
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda