AS Giring Opini Masyarakat untuk Dukung Konflik Bersenjata dengan Rusia

Tentara Rusia berbaris dalam formasi selama latihan untuk Parade Hari Kemenangan di Pangkalan Udara Hmeimim, Suriah.

Tentara Rusia berbaris dalam formasi selama latihan untuk Parade Hari Kemenangan di Pangkalan Udara Hmeimim, Suriah.

Anton Novoderezhkin/TASS
Terlepas dari berbagai isu bahwa dunia kini berada di ambang perang besar, hal tersebut sepertinya tak mungkin terjadi. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, berbagai lembaga internasional, termasuk PBB, berusaha keras untuk menjaga perdamaian dunia. Namun, perilaku AS belakangan ini terlihat seolah ingin menggiring opini masyarakat untuk mendukung konflik bersenjata langsung dengan Rusia.

Kuartal terakhir tahun ini diramaikan oleh berbagai peristiwa yang tak biasa, mulai dari tuduhan Amerika mengenai keterlibatan Rusia dalam pengeboman konvoi kemanusiaan PBB di dekat Aleppo, hingga situasi yang melibatkan manuver pesawat penumpang Ukraina di langit Suriah. Belum lagi, beberapa waktu lalu menteri luar negeri Inggris menyarankan peluncuran ‘aksi militer’ untuk menyelesaikan konflik di Suriah.  

Berbagai kabar yang bermunculan mengenai ‘genosida rakyat Suriah di Aleppo’ mengingatkan kita akan pengeboman di pasar Sarajevo pada April 1995, yang memicu pengeboman bekas negara Yugoslavia.

Pemicu Potensial Konflik Militer Rusia-AS

Situasi saat ini memperlihatkan bahwa Barat telah siap secara politik dan psikologis untuk melakukan konfrontasi secara terang-terangan, atau mungkin komando militer tertinggi di Barat hanya akan terseret arus peristiwa yang dikendalikan oleh ‘para aktivis di lapangan’. Terdapat berbagai bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah AS mulai mengendurkan kontrol terhadap para milisi dan ‘mitra’ mereka. Atau — jika tidak — kita bisa menganggap bahwa berbagai peristiwa belakangan ini terjadi tanpa sepengetahuan AS.

Kondisi saat ini terjadi bukan secara kebetulan, melainkan hasil dari perpaduan karakter politik Amerika pasca-Perang Dunia II — terutama pasca-Perang Vietnam — dengan cara kolonial mereka untuk meletuskan konflik militer. Ini merupakan fenomena perilaku jangka panjang yang sayangnya tak bisa dihentikan lewat propaganda politik.

Suriah berpotensi menjadi lokasi pertempuran langsung antara Rusia dan AS karena alasan sederhana: Rusia sepertinya tak akan berjuang mati-matian di negara tersebut, sementara AS tak mau berperang di wilayah Rusia dan lebih memilih berseteru di Suriah. Oleh karena itu, AS harus mengalahkan Rusia sesegera mungkin di negara tersebut.

Namun, jika AS tak menghancurkan kontingen Rusia sepenuhnya karena khawatir akan risiko yang tak bisa dikendalikan dari reaksi Kremlin, mereka minimal akan mendesak Moskow untuk menarik pasukan bersenjatanya tanpa syarat kondisi politik apa pun. Setelah itu, mungkin Suriah akan mengalami reformasi politik sesuai keinginan Amerika, sedangkan Moskow dianggap harus ‘sedikit berkorban’ demi mencapai sesuatu yang besar.

Sayangnya, elit Amerika dan penasihat keamanan nasionalnya gagal memahami bahwa Rusia sudah lama menganggap Suriah sebagai bagian dari ‘gambar besar’ mereka — ujian kritis bagi AS untuk mempertahankan hak mereka yang mengklaim diri sebagai ‘adidaya’.

Hal yang gagal dipahami oleh para elit politik Amerika adalah fakta bahwa selama ini Rusia menganggap Suriah sebagai ‘pencapaian besar’ mereka, dengan menciptakan ujian kritis bagi AS untuk mempertahankan status ‘adidaya’ yang selama ini mereka klaim.

Dengan demikian, Rusia tak hanya melihat Suriah sebagai sebuah ‘taruhan’ besar, melainkan taruhan yang sangat besar. Mungkin bagi pemerintah Rusia, pertaruhan mereka di Suriah bahkan lebih besar dibanding situasi di Krimea.

Perhitungan Strategi Washington

Ada dua karakter khusus dalam hubungan Rusia dan Amerika Serikat saat ini.

Pertama, Rusia secara praktis memiliki potensi untuk meningkatkan konflik di semua wilayah, dan Amerika menyadari hal ini. AS menganggap hal tersebut sebagai sebuah risiko meski mereka yakin Rusia hanya akan menciptakan ketegangan situasi di area yang telah disusun matang. Wilayah yang berada di jangkauan Rusia antara lain ialah Laut Hitam, Ukraina, dan kemungkinan Laut Baltik.

Namun, perpecahan di Baltik hanya akan terjadi dalam situasi peningkatan ketegangan situasi secara maksimal. Itu semua adalah lokasi yang sepenuhnya ‘nyaman’ bagi AS, bahkan di Baltik pun AS sepertinya tak akan ikut campur untuk menunjukkan ‘belas kasihan’. Amerika bahkan menilai Rusia tak mungkin bergerak lebih dari wilayah-wilayah tersebut. 

Kedua, AS berasumsi bahwa opini publik Rusia yang dibentuk oleh media massa dan kelompok elit melalui propaganda bersifat tak stabil dan dapat dengan mudah ‘dihancurkan’. Sehingga, konsensus elit bisa diporak-porandakan. Kehadiran konsensus itu sendiri merupakan adalah realitas tak menyenangkan bagi Washington.

Barat tak bisa melihat bahwa justru opini publik yang membentuk perilaku elit Rusia, karena pemikiran tersebut terlihat ‘aneh’ bagi Barat. Karena itu, AS berupaya menarik hati warga Rusia guna memecah belah mereka, seperti lewat upaya yang dilakukan Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan George Soros baru-baru ini.

Strategi kekuatan militer AS sungguh naif: memprovokasi terjadinya sejumlah insiden untuk menciptakan aturan bersifat propaganda yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk melawan Rusia. Sehingga, tercipta kondisi yang ideal untuk memanipulasi kelompok elit yang bersahabat atau berpotensi bersahabat secara politik di Rusia.

AS beranggapan bahwa para politikus Rusia bisa menjadi alat yang dapat membantu Amerika mencapai tujuan politiknya karena para elit Rusia terkenal disegani di teater perang global terkait potensinya untuk menggunakan pasukan dalam jumlah tak terbatas. Mereka, menurut AS, hanya perlu didorong untuk mengambil ‘langkah yang tepat’.

Terkait relasi dengan Rusia, politik kekuatan Amerika tak mengincar kemenangan militer atau pun kemenangan secara ‘angka’. Bagi Washington, sebuah ‘deklarasi kemenangan’ dan keengganan Moskow untuk melanjutkan konfrontasi di level tertentu saja sudah cukup.

Dmitry Yevstafyev adalah seorang analis politik dan profesor di Sekolah Tinggi Ekonomi (HSE) Moskow.

Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.

Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia oleh Eurasia.Expert.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki