Tiga Skenario yang Bisa Terjadi Setelah AS Tangguhkan Kontak dengan Rusia

Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dalam pertemuan mengenai Suriah pada Januari lalu di Zurich, Swiss.

Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dalam pertemuan mengenai Suriah pada Januari lalu di Zurich, Swiss.

Reuters
Amerika Serikat telah mengumumkan penangguhan dialog dengan Rusia terkait Suriah, yang bertujuan mempertahankan gencatan senjata. Berikut adalah tiga skenario yang mungkin terjadi dalam perkembangan situasi di Suriah menyusul keputusan Gedung Putih tersebut.

Pada Senin (3/10), Departemen Luar Negeri AS mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan keterlibatannya dalam semua jaringan bilateral dengan Rusia terkait Suriah. AS menuduh Rusia melanggar komitmennya dalam kesepakatan gencatan senjata

Pihak Rusia, di sisi lain, menuduh Washington bersedia ‘bekerja sama dengan iblis’ — para kelompok ekstremis — hanya demi menciptakan perubahan rezim di Damaskus.

RBTH menganalisis bagaimana situasi akan berkembang setelah penghentian dialog antara Rusia dan AS di Suriah.

Skenario I: Pertikaian Militer Antara AS dan Rusia di Suriah

Kemungkinan ini terjadi dan keinginan untuk menghindari pertikaian antara kedua belah pihak menjadi pusat pembicaraan antara menteri luar negeri AS dan Rusia mengenai Suriah, terang seorang analis militer dari Universitas Ekonomi Plekhanov Alexander Perendzhiyev.

Ini merupakan tujuan utama yang hendak dikejar oleh kedua negara. Kalau tidak, mereka tak punya kesamaan prinsip dasar mengenai Suriah. Kini, melihat langkah terbaru yang diambil Washington, ada kemungkinan terjadi konflik militer antara Rusia dan AS di Suriah, terang sang pakar.

“Lagipula, itu sebenarnya telah terjadi secara tak langsung: Amerika menyerang dan mengebom unit pasukan pemerintah Suriah padahal di sana terdapat penasihat militer kami; sementara pihak Rusia mengebom teroris, yang di antaranya terdapat tentara Amerika,” kata sang ilmuwan politk pada media Rusia RIA Novosti.

Dalam kasus pertama, Perendzhiyev mengacu pada pengeboman terbaru pasukan koalisi yang dipimpin AS terhadap pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad, dan pada kasus kedua berkaitan dengan laporan serangan Rusia terhadap markas militer AS dan Inggris di Suriah.

Namun, skenario konfrontasi militer antara Moskow dan Washington di Suriah sepertinya tak akan menjadi kenyataan. Setelah menghentikan kerja sama dengan Rusia terkait Suriah, militer AS meninggalkan jaringan komunikasi untuk menghindari konflik antara pesawat militer kedua negara, terang Vladimir Sotnikov dari Institut Studi Oriental dalam wawancara bersama RBTH. Dengan demikian, AS mencoba menghindari pertikaian antara militer kedua negara.

Skenario II: ‘Rencana B’ Pemerintah AS

Menteri Luar Negeri AS John Kerry sebelumnya pernah menyinggung ‘Rencana B’, seraya menyebutnya sebagai alternatif untuk menghentikan proses perdamaian.

Seperti yang disampaikan Alexander Shumilin, Direktur Pusat Analisis Konflik Timur Tengah di Insitut Studi AS dan Kanada, pada RBTH, ‘Rencana B’ kini berisi ‘penguatan oposisi anti-Assad dan anti-ISIS’. Tugas ini akan jatuh ke tangan monarki Arab dan Turki, dengan persetujuan Washington.

Pada saat yang sama, sang analis politik menyebutkan, kelompok ekstremis seperti front Al-Nusra, yang dikategorikan sebagai teroris oleh PBB dan AS, juga akan mendapat persenjataan. Dengan kata lain, semua pihak yang menentang Assad akan digerakkan.

Hal ini tentu hanya akan memperparah pertempuran dan menambah jumlah korban jiwa karena sekutu Assad, terutama Rusia, tak akan mundur. Juru bicara kepresidenan Rusia Dmitry Peskov telah menegaskan bahwa setelah mendengar keputusan Washington, Moskow tak akan menyerah memerangi terorisme dan mendukung pemerintah Suriah. 

Dalam skenario tersebut, Washington mungkin akan mencoba menjatuhkan rezim presiden Suriah secara paksa, mengerahkan armada udaranya, seperti dalam operasi di Libya pada 2011, ketika Qaddafi kehilangan kekuasaannya dan dibunuh.

Namun, dalam kasus ini, pertempuran langsung dengan Pasukan Kediirgantaraan Rusia tak terhindarkan karena mereka akan melindungi posisi tentara Suriah dari serangan udara, terang Mikhail Vladimirov dari Pusat Studi Militer dan Politik di Universitas MGIMO dalam wawancara bersama RBTH. Hal itu membuat opsi ini tak memungkinkan karena Washington tak mau mengambil risiko — konsekuensi yang tak terduga dari pertikaian semacam itu antara dua negara yang memiliki senjata nuklir tentu sangat jelas.

Di saat yang sama, menurut pakar, suntikan sumber daya untuk musuh Assad tak akan menghasilkan apa-apa karena pihak oposisi kini sudah hampir tak membutuhkan apa-apa. Ini karena mereka sudah memiliki senjata dan uang yang diperlukan. Pendampingan tambahan tak akan mengubah keseimbangan kekuatan dalam konflik hingga udara didominasi oleh pasukan Rusia, yang akan menghancurkan pasukan pemberontak.

Skenario III: Kesuksesan Pasukan Assad

Terbebas dari penghalang kesepakatan perdamaian, menyusul keputusan Washington, pasukan Assad yang didukung Rusia akan mencapai kesuksesan yang signifikan, menyingkirkan musuh mereka dari Aleppo meski mereka didampingi Washington dan sekutunya.

Setelah pasukan Assad merebut kembali kota Suriah yang sangat penting ini, tutur Vladimirov, tentara Suriah akan mulai menyerang Provinsi Idlib. Kemenangan Assad akan ditentukan oleh posisi kelompok Sunni.

Jika beberapa di antara mereka, melihat kesuksesan Damaskus, menyimpulkan kesepakatan damai dengan Assad, konflik akan segera berakhir. Jika tidak — Suriah akan menghadapi ‘perang berintensitas rendah’ selama puluhan tahun.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki