Bukan Lagi Pemimpin Dunia, Mengapa Pemilu AS Dibesar-besarkan?

Calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump (kiri) dan Hillary Clinton dari Partai Demokrat.

Calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump (kiri) dan Hillary Clinton dari Partai Demokrat.

Reuters
Sebuah konferensi hubungan internasional — di tengah kampanye pemilu AS — berlangsung di New York tepat 12 tahun lalu. George Bush Jr. dan John Kerry bersaing untuk memperebutkan kursi presiden AS. Kampanye tersebut berlangsung 1,5 tahun setelah invasi Amerika ke Irak. Saat itu, sebagian besar peserta konferensi menginginkan Amerika dibebaskan dari ‘iblis’ bernama Bush.

Di tengah panasnya diskusi, seorang perwakilan dari negara Afrika berdiri dan berkata, “Karena kemanusiaan sangat bergantung pada siapa yang menjadi presiden AS, mengapa tak seluruh dunia saja yang memilihnya?”

Sacara mengejutkan, usulan tersebut tak disambut tawa, melainkan persetujuan. Kala itu — berbeda dengan situasi di AS karena sebulan kemudian George Bush kembali terpilih sebagai presiden AS untuk periode empat tahun berikutnya — Bush sangat tak disukai di panggung internasional dan dalam acara pemilihan ‘universal’ ia tak akan mendapat kesempatan menang.

Munculnya pertanyaan itu sendiri merefleksikan dengan sempurna persepsi mengenai situasi yang terbentuk setelah Perang Dingin. Kandidat mana pun yang menang kala itu, sekalipun tak disukai, ia jelas akan menjadi politikus paling penting di dunia. Kini semua negara di dunia kembali mengikuti kampanye presiden Amerika — menahan napas. Namun, ini pertama kalinya dalam seperempat abad terakhir, para kandidat memiliki perbedaan mengenai peran yang harus dimainkan Amerika di panggung dunia.

Kepemimpinan global Amerika dianggap sebagai harga yang harus dibayar atas upaya "menyebarkan" demokrasi yang dimulai 25 tahun lalu. Sementara, ada banyak pemain luar yang mempertanyakan kepemimpinan AS itu sendiri. Di AS pun muncul kelompok yang tak paham mengapa negaranya perlu melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah negara lain padahal masih ada banyak masalah yang perlu diperhatikan di dalam negeri.

Itulah mengapa kampanye pemilu kali ini sangat khusus. Jelas ini diarahkan untuk pemilih, tapi pada saat yang sama, juga diarahkan pada khalayak asing yang harus diyakinkan bahwa Amerika tak bermaksud melepaskan kepemimpinan globalnya. Sejujurnya, bagaimanapun, tak ada pemahaman jelas mengenai bagaimana kepemimpinan tersebut harus dicapai di masa depan.

Seruan Mantan Sekjen NATO

Minggu lalu, muncul sebuah kontroversi menarik yang terbongkar antara Barack Obama, yang bicara di Sidang Umum PBB, dan mantan Sekretaris Jenderal NATO Jenderal Anders Fogh Rasmussen, yang memublikasikan artikel di The Wall Street Journal.

Bicara di panggung PBB adalah hal yang biasa bagi Obama. Ia selalu menekankan peran khusus yang dimainkan negaranya, menyebutkan semua kontribusi besarnya pada kemanusiaan. Namun, ia juga terus memiliki pesan lain. Ia berkata bahwa Amerika bukanlah negara yang mahakuasa, bahwa dunia unipolar bukan sebuah norma, melainkan sebuah pengecualian, dan Amerika telah membuat kesalahan. Dualitas Obama dan pencariannya akan pendekatan yang seimbang menunjukkan bahwa ia menyadari betapa multidimensinya dunia saat ini lebih dari orang-orang sebangsanya.

Namun, hal yang penting bagi akademisi jarang menguntungkan politikus publik.

Obama, yang mulai menjadi perwujudan era baru, terus mencoba untuk menurunkan ekspektasi masyarakat saat ia diharapkan menampilkan posisi yang tepat dan menjanjikan hasil yang jelas. Pada akhirnya, semua orang tak bahagia — tak hanya musuhnya yang menuduh kebijaksanaan dan kehati-hatian sang pemimpin sebagai kelemahan dan pengelakan, tapi juga pendukungnya yang menilai ia tak berbuat banyak.

Rasmussen, di sisi lain, memahami segalanya, layaknya orang neokonservatif ideologis. Ancaman berkembang, teroris semakin kuat, Rusia semakin ‘lancang’, dan Tiongkok menginginkan pengaruh global — seseorang harus mengakhiri ini semua.

Neokonservatisme (biasa disingkat neokon) adalah aliran politik yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1960-an di kalangan Demokrat yang tidak sepakat dengan kebijakan dalam dan luar negeri partainya. Kaum neokonservatif biasanya mendukung penyebaran demokrasi dan kepentingan nasional Amerika Serikat dalam hubungan internasional, salah satunya lewat serangan militer.

“Dunia butuh seorang polisi jika kebebasan dan kemakmuran adalah untuk melawan kekuatan penindas, dan satu-satunya kandidat yang mampu, bisa diandalkan, dan diinginkan untuk posisi itu ialah Amerika Serikat. Pria Denmark itu meminta Amerika untuk bangun. Tentu, tak perlu menganalisis tulisannya dengan serius — itu hanya selebaran propaganda yang ditujukan bagi pemilih.

Namun hal itu, bagaimanapun, sulit untuk tak dikomentari. Di antara masalah-masalah yang membutuhkan keterlibatan Amerika atas nama mempertahankan tatanan dan memadamkan api (seorang pemadam kebakaran untuk memadamkan api konflik), artikel tersebut menyebutkan bahwa “Di Afrika Utara, Libya telah jatuh dan menjadi sarang teroris.” Saya tak tahu siapa yang menyarankan mantan sekjen NATO untuk menggunakan contoh ini, tapi jika kita mempertimbangkan sejarah ‘api’ yang sesungguhnya di Libya, pernyataan tersebut muncul sebagai sikap sinis yang tak bisa dipahami.

Hillary atau Trump?

Obama dan Rasmussen sepakat dalam satu hal: penting bahwa Amerika tak mengadopsi pendekatan isolasi. Akibatnya, mereka berdua mendukung Hillary Clinton. Obama, yang bicara tentang orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan diri pada masa depan, mencoba untuk membujuk calon pendukung Trump dan membuat mereka melihat bahwa mereka memahami kekhawatiran para pendukung Trump. Genderang Rasmussen ditujukan bagi mereka yang tak perlu dibujuk — dukungan mereka hanya perlu dikuatkan. Namun, mungkin kondisi sebenarnya jauh lebih serius: perubahan paradigma sosial-politik, yang jelas terjadi di Amerika dan di seluruh dunia, berarti bahwa kelas yang berkuasa juga akan terpecah.

Takdir pemilu selanjutnya sepertinya dilebih-lebihkan. Siapa pun yang menang tak akan menghancurkan sistem. Hillary tak mungkin bisa kembali tahun 1990-an yang diinginkan, dan Trump tak bisa mewujudkan ulang masa-masa 1950-an yang menjadi favoritnya.

Kelembaman mesin pemerintah sungguh hebat meski mereka juga bingung akan reaksi massa yang tak bisa diprediksi. Namun, perubahan perlahan menuju fase yang berbeda tak terhindarkan. Hal itu dimulai oleh Obama, yang mencoba mengombinasikan berbagai slogan tradisional dengan kebijakan yang berbeda. Hal ini akan dilanjutkan oleh presiden berikutnya dan kemungkinan menciptakan bentuk baru pada 2020-an. Namun ini dapat terjadi hanya jika penerus Obama tak melenceng untuk membuktikan pada Rasmussen bahwa Amerika tak lagi tertidur.

Fyodor Lukyanov adalah ketua Dewan Pengurus Badan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan dan sekaligus pemimpin redaksi jurnal Russia in Global Affairs.

Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia di Gazeta.ru.

Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH. 

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki