Clinton atau Trump: Mungkinkah Rusia Mengintervensi Pilpres AS?

Calon presiden AS dari Partai Demokrat, Hilary Clinton, saat sedang mendengarkan pertanyaan dari awak media di dalam pesawat kampanyenya saat dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Quad Cities, Moline, Illinois, 5 September 2016.

Calon presiden AS dari Partai Demokrat, Hilary Clinton, saat sedang mendengarkan pertanyaan dari awak media di dalam pesawat kampanyenya saat dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Quad Cities, Moline, Illinois, 5 September 2016.

AP
Hillary Clinton, calon presiden AS dari Partai Demokrat, mengatakan bahwa Rusia dapat memengaruhi proses pemilihan presiden AS pada November yang akan datang. Mungkinkah ketakutan Clinton menjadi kenyataan?

"Ada laporan yang kredibel atas upaya campur tangan Rusia dalam pemilu kita," kata Hillary Clinton pada 5 September lalu. Hal itu diungkapkan Clinton terkait skandal pembobolan jaringan komputer Komite Nasional Demokrat (DNC). Namun demikian, hingga kini tidak ada pernyataan resmi dari Washinton yang secara langsung menuduh Moskow atas pembobolan tersebut. Para pejabat AS hanya mengatakan bahwa mereka masih terus menyelidiki kasus tersebut.

Menanggapi pernyataan Clinton, Presiden Rusia Vladimir Putin dengan tegas membantah tuduhan atas pembobolan tersebut. Putin menyebutkan, Moskow tidak terlibat dalam hal-hal semacam itu di tingkat negara.

Peretas Data Pemilu

Ini adalah pertama kalinya badan-badan di Rusia dituduh atas kemungkinan upaya memengaruhi hasil pemilu AS. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh sosok Donald Trump, calon presiden dari Partai Republik, yang dianggap sebagai "capres pro-Rusia" karena kekagumannya pada Putin.

"Di Amerika, mereka bilang bahwa Rusia semakin menurun, tapi ketika ada sesuatu yang berhubungan dengan ancaman siber, negara ini tiba-tiba dianggap sangat kompetitif dan bahkan punya kemampuan yang lebih daripada Tiongkok," kata analis Dewan Atlantik Matthew Burrows dalam wawancara dengan Gazeta.ru. "Rusia melakukan operasi ini pada tingkat yang lebih tinggi."

Namun, beberapa ahli percaya bahwa dalam kasus serangan peretas secara besar-besaran, daftar pemilih bisa terancaman. Pada Agustus lalu, FBI melaporkan bahwa beberapa peretas telah mengakses basis data Dewan Pemilu Illinois dan mencuri 200 ribu informasi pribadi pemilih. FBI mengatakan, badan keamanan Rusia diduga terlibat dalam kasus tersebut.

Pada Juli lalu, Senator Harry Reid meminta FBI untuk menyelidiki kemampuan Rusia untuk memengaruhi pilpres AS pada November mendatang. Reid mengungkapkan bahwa pembicaraannya dengan para pejabat intelijen telah membuatnya semakin khawatir bahwa Putin ingin mengacaukan pemilihan presiden AS.

Mungkinkah Rusia Mengintervensi?

"Kekhawatiran semacam itu memang ada di Amerika Serikat," kata Nikolai Zlobin, presiden Pusat Kepentingan Global di Washington.

Misalnya, para peretas mungkin bisa mengganggu pemilih AS yang memberikan hal suaranya melalui internet. Namun, pemilihan secara online masih belum menjadi sesuatu yang lazim. Mayoritas rakyat Amerika lebih memilih menggunakan kertas surat suara.

"Kemungkinan manipulasi suara di negara-negara bagian kunci jauh lebih berbahaya," kata Zlobin berpendapat. "Sebetulnya, tidak mungkin untuk melakukan manipulasi di seluruh wilayah, tapi jika Anda mendapat sedikit keuntungan di negara bagian tertentu, sangat mungkin untuk mengubah hasil pemilu secara radikal," katanya.

Sang analis politik mengambil contoh pada pilpres AS pada tahun 2000 antara George W. Bush dan Al Gore. Menurut penghitungan suara awal, Bush memenangkan pemilihan. Namun, karena 43 ribu surat suara yang disengketakan, Mahkamah Agung Florida memerintahkan penghitungan ulang secara manual. Sayangnya, penghitungan ulang itu dihentikan oleh Mahkamah Agung AS.

Apakah Rusia Mendukung Trump?

Beberapa pengamat Kremlin di Washington, yang percaya bahwa otoritas Rusia ikut campur dalam proses pemilihan Amerika, berpikir bahwa Moskow bermain di sisi Trump.

Sebelumnya, Presiden Putin pernah memberikan dukungan kepada Trump. Namun, Putin kemudian mengatakan bahwa Moskow siap bekerja sama dengan pemerintah Amerika yang dipimpin oleh siapa pun di masa depan.

Adapun saluran televisi publik Rusia diketahui menyiarkan kampanye Trump lebih sering daripada Clinton. Namun, hal itu kemungkinan — secara tidak langsung — hanya memengaruhi simpati warga AS yang berbahasa Rusia, yang memiliki dampak relatif kecil pada hasil pemilu.

Berdasarkan berbagai hasil jajak pendapat, saat ini Clinton memimpin di atas Trump. Namun demikian, masih banyak masyarakat yang baru akan menetapkan pilihannya usai debat televisi antara kedua calon yang akan diadakan pada akhir bulan ini.

Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia di Gazeta.ru.

 

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki