Presiden Rusia Vladimir Putin tiba di Istana Kepresidenan Ankara untuk menghadiri konferensi pers, Selasa (1/12). Putin menandatangani dekrit pemberian sanksi terhadap Turki, Sabtu (28/11), empat hari setelah Turki menembak jatuh pesawat tempur Rusia di dekat perbatasan Suriah-Turki.
ReutersDalam Konferensi Iklim PBB di Paris yang dibuka pada Senin (30/11) lalu, muncul berbagai pernyataan politis yang tak berhubungan dengan agenda pertemuan.
Salah satu intrik utama adalah pertanyaan apakah Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan akan mendiskusikan insiden penembakan pesawat pengebom Rusia di dekat perbatasan Suriah-Turki.
Selain sejumlah pertemuan bilateral dengan presiden Rusia (ia punya waktu untuk berbicara dengan presiden AS, pemimpin Tiongkok, kanselir Jerman, pemimpin Korea, dan perdana menteri Israel), Putin tak bertemu dengan Erdoğan.
“Kami tak bertemu,” kata Vladimir Putin, dan menyatakan bahwa Rusia telah menerima data tambahan mengenai insiden Su-24 Rusia, membuktikan bahwa perlindungan terhadap Turkoman Suriah hanyalah alasan bagi Turki.
“Kami punya alasan untuk berpikir bahwa keputusan menembak pesawat kami ialah untuk melindungi lini pasokan minyak di wilayah Turki,” kata Putin dalam konferensi pers setelah pertemuan tersebut.
Menurut Putin, Ankara juga gagal merespons kekhawatiran Moskow terkait gerakan teroris yang bebas karena kebijakan bebas visa antara Rusia dan Turki.
“Kami telah lama meminta Turki untuk memerhatikan fakta bahwa perwakilan organisasi teroris telah lama mencoba menyerang kami dengan senjata di beberapa wilayah Rusia <...> ‘permukaan’ di wilayah Turki.”
Erdoğan kemudian menyatakan bahwa ia akan mengundurkan diri jika tuduhan bahwa Turki membeli minyak dari ISIS terbukti.
Hinga Rezim Berubah
Akan sangat sulit mengembalikan level kerja sama dengan Turki yang dimiliki Rusia sebelum insiden Su-24 karena hubungan tersebut dibangun dengan ‘upaya keras’ sejak awal 2000-an, kata dosen senior Departemen Ilmu Politik di Higher School of Economics yang juga merupakan seorang pakar Arab dan pengamat konflik, Leonid Isayev, pada RBTH.
“Pernyataan keras Putin, yang memicu komentar keras dari Turki, dapat meruntuhkan jembatan yang telah dibangun bertahun-tahun,” kata sang pakar, dan yakin bahwa hubungan Rusia dan Turki akan kembali ke titik nol.
Tentu, konfrontasi semacam itu tak menyenangkan baik bagi Rusia, Turki, maupun NATO. Namun setidaknya, diperlukan 'perubahan rezim' untuk melupakan retorika di sela konferensi iklim, dan pernyataan tersebut terlalu diambil hati oleh kedua negara.
Vladimir Avatkov, seorang pakar Turki dan Direktur Pusat Studi Oriental, Hubungan Internasional, dan Diplomasi Publik, setuju bahwa hanya perubahan rezim yang dapat menyelesaikan krisis tersebut.
Namun, kita tak boleh menyamakan rezim Turki dengan masyarakat Turki, katanya. “Ya, rezim Turki berpihak pada terorisme saat ia menembak pesawat kami, namun kita harus memikirkan masa depan.” Turki sepertinya belum dilupakan sebagai mitra yang menjanjikan.
Intervensi NATO
Akankah mundurnya hubungan Rusia-Turki memengaruhi kerja sama antara para pemain di Suriah? Pertanyaan ini dijawab dengan baik di Paris oleh Putin sendiri, kata Victor Nadein-Rayevsky, peneliti senior di Institut Ekonomi Dunia dan Hubungan Internasional di Russian Academy of Sciences: koalisi semacam apa yang dapat tercipta jika mereka menusuk kita dari belakang?
Namun demikian, Rusia masih akan terus memerangi ISIS dan tak menolak untuk bekerja sama dengan Prancis.
“Selain itu, terkait hal ini, kita tak bisa mengharapkan kemunduran dalam aksi melawan terorisme di Suriah. Malah, situasi membaik,” kata Nadein-Rayevsky.
Penempatan sistem pertahanan udara S-400 di Suriah mengubah keseimbangan; jangkauan sistem radar tersebut meliputi hampir seluruh sektor garis depan; pesawat Turki memilih untuk tak mengganggu jangkauan radar dan takut untuk mengebom area penempatan Unit Perlindungan Masyarakat Kurdi Suriah.
“Turki menggunakan bom mereka hampir setiap hari, namun unit tersebut sebenarnya sangat efektif memerangi Islamis di wilayah mereka,” kata Nadein-Rayevsky.
Selain itu, menurutnya, jika aksi Turki mengganggu aksi gabungan negara mitra melawan ISIS di Suriah, NATO mungkin mendorong Ankara keluar dari proses ini.
“Situasi di Suriah sungguh tegang. Jika konflik antara Rusia dan Turki ikut menggangu, hal ini akan menguntungkan ISIS,” kata Isayev.
“Sekutu akan berpihak pada Turki, seperti kasus pengeboman, tapi mereka akan berupaya untuk menghindari konfrontasi tajam antara kedua pihak.”
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda