Ilmuwan Rusia telah memainkan peran utama dalam studi warisan budaya Suriah. Salah satu publikasi pertama Tadmur adalah milik Puteri Lydia Aleksandrovna Paskova yang merupakan seorang penulis novel dan juga pengembara. Pada tahun 1882, seorang orientalis dan pelancong Rusia Pangeran Semen Abambek Lazarev menemukan lempengan marmer pada penggalian di Tadmur dengan ukiran berbahasa Yunani dan Aram yang berisi aturan adat istiadat pada tahun 137 M., yang memainkan peran besar dalam studi bahasa Aram lebih lanjut (kini disimpan di Hermitage).
Pada tahun 1884, Abambek Lazarev memublikasikan hasil penggalian buku Tadmur yang berdekorasi indah, dan seratus tahun kemudian, kolega senior saya yang seorang ilmuwan Sankt Peterburg I.S. Schiffman menerbitkan penelitian dan terjemahan prasasti ini. Kontribusi yang begitu beharga untuk mempelajari Tadmur dibuat oleh kolega Schiffman yang merupakan seorang sejarawan seni dan arkeolog Rusia Boris Farmakovsky.
Pada tahun 2001, saya berkesempatan untuk ambil bagian dalam organisasi di Paris, dalam sebuah pameran besar dan indah “Moi, Zénobie reine de Palmyre”. Pada pembukaan pameran, saya berbincang dengan seorang Suriah tua yang membuat saya terkesan dengan pengetahuannya. Belakangan saya baru menyadari bahwa ia adalah Dr. Khalid Asaad, direktur kompleks museum di Tadmur. Pada bulan Agustus 2015 lalu, arkeolog terkemuka berusia 81 tahun itu dipenggal oleh jihadis.
Di Tadmur, para militan tak hanya meledakkan Arc de Triomphe, kuil Bel yang megah (dibangun sejak tahun 32 M.), kuil Baal Shamin (tahun 131 S.M.), yang mencakup unsur-unsur perpaduan arsitektur Yunani-Romawi dan Timur Tengah, dan tiga menara di lembah pemakaman yang dibangun sejak tahun 44 hingga 103 Masehi, tetapi juga menghancurkan biara katolik kuno Saint Julian yang terletak di jalan antara Tadmur dan kota al-Karyatayn. Biarawan yang ditangkap di dalamnya lalu dieksekusi.
Tak hanya itu, kota Dura-Europos pun dihancurkan. Kota ini dibangun pada tahun 300 S.M. dan berdiri sampai abad ketiga Masehi. Penghancuran dan penjarahan Apamea Suriah yang dibangun pada awal abad III sebelum Masehi. Pertempuran tersebut hampir menghancurkan benteng Aleppo, sementara sebuah amfiteater besar di Bosra dan benteng tentara salib yang megah Crac des Chevaliers rusak parah.
Dengan diledakkannya monumen-monumen kuno itu, para jihadis telah menghancurkan bukti sejarah agama dari dasar eskatologi Al-Quran. Namun, ada banyak bukti bahwa sebenarnya kita berbicara tentang bisnis jutaan dolar AS yang berkaitan dengan penjualan barang antik ke Barat. Ledakan monumen kuno merupakan tabir asap yang mengerikan untuk bisnis ini.
Dalam koleksi akademik Sankt Peterburg tersimpan naskah kuno yang dimiliki oleh Osama bin Munkizu (1095 –1188), seorang penulis Arab, ksatria besar, dan seorang pemburu. Ia lahir di keluarga emir Sheyzara, sebuah kerajaan Suriah kecil, tapi setelah kematian ayahnya akibat konflik keluarga, ia terpaksa meninggalkan rumah untuk selamanya. Di perjalanan, sang emir yang sedang berkelana sempat bertarung dengan tentara-tentara Salib, tapi kemudian berteman bersama mereka.
Pada Agustus 1157, gempa kuat menghancurkan Suriah utara. Seluruh kerabat Osama terbunuh di bawah reruntuhan benteng. Setelah mengetahui kejadian tersebut, ia datang ke tempat ia dilahirkan yang juga merupakan tempat dia tak dapat kembali sebelumnya. Merasa terguncang saat berdiri di atas reruntuhan kastil, Osama memutuskan untuk membukukan puisi-puisi Arab yang menggambarkan rumah yang ditinggalkannya.
Naskah hasil karyanya ini ditulis ulang selama kehidupan sang penulis dan kini tersimpan di Sankt Peterburg. Di dalamnya, tanpa disadari, Osama menulis kata-kata, yang dapat dikatakan oleh setiap orang Suriah, menggambarkan mengenai situasi saat ini yang terjadi di tanah airnya, Suriah. “... Reruntuhan yang menimpa negara dan tanah air saya membuat saya terpanggil untuk mengumpulkan buku ini. Meski waktu bergegas menghapusnya sekuat daya… menghapuskan semua desa dan membunuh penduduknya, suka cita berubah menjadi kesedihan dan duka. Saya tinggal di sana setelah dihancurkan gempa… dan saya tak mengenali rumah saya sendiri juga rumah orangtua dan saudara saya, tidak juga rumah paman saya, dan rumah anak paman saya atau kerabat saya. Dalam kebingungan, saya mulai mengeluh kepada Allah atas ujian yang diberikan oleh-Nya, bahwa Allah telah mengambil kebahagiaan yang sebelumnya diberikan. Kemudian saya pergi… menggigil dan berayun, seolah membawa beban yang berat. Kehilangan yang begitu besar, air mata saya yang pernah mengalir habis, dan desah napas panjang berhasil meluruskan tulang rusuk…”
Selama bertahun-tahun saya ingin pergi ke Shayzar untuk melihat reruntuhan istana kuno dan merekam video yang didedikasikan untuk naskah Sankt Peterburg dan nasib penulisnya, seorang ksatria muslim yang gagah berani. Namun, saya tak sempat. Kini, melihat peta Suriah, kita tidak ingat akan monumen besar yang terkenal di dunia ini, melainkan wilayah pertempuran dan pengeboman, wilayah yang dikuasai oleh pasukan pemerintah dan pejihad dari berbagai kelompok. Saya masih ingin melihat siapa yang kini mengendalikan Shayzar, dan saya takut melakukannya. Apa yang dapat saya katakan?
Efim Rezvan, pengamat Arab dan Islam Rusia, pemimpin redaksi jurnal internasional Manuscripta Orientalia.
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda