Rusia di Era Pasca-Soviet: Negara di Kaukasus Selatan Hindari Pengaruh Moskow

Moskow dan Yerevan memiliki hubungan yang harmonis.

Moskow dan Yerevan memiliki hubungan yang harmonis.

TASS
Hampir tidak mungkin bagi Rusia untuk berperan sebagai mediator dalam konflik Armenia-Azerbaijan atas Karabakh. Namun, pada saat yang bersamaan, Moskow pun tidak ingin keduanya lebih mendekat ke Turki. Di lain hal, hubungan Rusia-Georgia kini menjadi sandera bagi status Abkhazia dan Ossetia Selatan. Berikut evaluasi hubungan Rusia dengan negara-negara di Kaukasus Selatan.

Azerbaijan

Baku telah lama menjaga jarak dari semua proyek integratif dengan Rusia dan membatasi keikutsertaan dalam CIS dan Dewan Kerja Sama Negara Penutur Bahasa Turki (CCTS atau Dewan Turki). Satu-satunya proyek yang mereka ikuti adalah proyek kemanusiaan yang tak membutuhkan banyak pengeluaran. Kita hanya bisa menduga-duga bagaimana sikap Azerbaijan jika aliansi tersebut mulai menaruh komponen ekonomi dalam kerja sama multilateral.

Ketidaktertarikan Baku untuk membina hubungan erat dengan tetangga-tetangganya dapat dijelaskan dengan keengganan mereka memperhitungkan ‘kepentingan multilateral', karena hal tersebut biasanya menciptakan ‘pelanggaran’ kedaulatan bagi negara itu sendiri.

Presiden Ilham Aliyev secara terbuka menyebutkan bahwa Azerbaijan tak tertarik dengan isu integrasi Eropa. Pada saat yang sama, Baku siap mengembangkan dan memperdalam hubungan bilateral yang setara dengan semua pihak. Kehadiran masalah di Karabakh membuat Azerbaijan terus mengawasi Rusia dan menghindari membuat ‘gerakan’ tajam yang mengarah pada Rusia.

Kendala lain ialah ketergantungan Azerbaijan terhadap pasar Rusia. Sebagian besar produk agrikultur Azerbaijan dijual (atau dikirim) ke Rusia dan jumlah buruh migran Azerbaijan di Rusia mencapai setidaknya satu juta orang. Faktor-faktor tersebut dapat dianggap sebagai pengaruh kunci Moskow terhadap Baku.

Para pakar menilai kepentingan Azerbaijan untuk bergabung dengan sekutu internasional bergantung pada proporsi volume energi yang mereka tuai. Ketika industri produksi minyak dan gas jatuh — yang diperkirakan akan terjadi pada 2020 — kemandirian Azerbaijan akan mulai surut, dan mungkin mereka mulai tertarik untuk membina hubungan multilateral.

Rusia tentu ingin Azerbaijan bergabung dengan Uni Ekonomi Eurasia (Eurasian Economic Community/EAEC). Namun, Moskow tak mengerti mengapa segala jenis tekanan yang diberikan pada Baku malah mendorong mereka semakin mempererat ikatan dengan Ankara. Selain itu, sikap keras malah menyingkirkan Azerbaijan sebagai mitra potensial.

Namun, hubungan bilateral Rusia dan Azerbaijan dapat digolongkan sebagai hubungan yang hangat dan bersahabat. Di luar prediksi, hubungan tersebut bahkan tidak memburuk setelah Azerbaijan menolak memperpanjang sewa Rusia atas Stasiun Radar Gabala. Dengan demikian, dapat dikatakan pengaruh Moskow atas Baku sangat terbatas.

Armenia

Moskow dan Yerevan memiliki hubungan yang harmonis. Kebimbangan pemimpin Armenia untuk memilih antara Uni Eropa atau Uni Ekonomi Eurasia berakhir dengan kecenderungan untuk menjadi sekutu pro-Rusia.

Sebagai balas budi, Rusia menyediakan jaminan keamanan bagi mitra strategisnya. Modal Rusia memberi napas di semua sektor perekonomian Armenia — setidaknya terlihat dalam objek dan sektor yang paling menarik dalam level yang signifikan. Kita bisa melihat bahwa Yerevan sangat tergantung pada Moskow. Barat mengaitkan loyalitas tersebut dengan pendekatan multivektor Armenia dalam hubungan internasional dan kedekatannya dengan Rusia, dan hal ini menempatkan Armenia dalam posisi yang sulit di bawah blokade Azerbaijan dan Turki.

Namun, setelah Pemerintah Armenia benar-benar mendukung Rusia dalam krisis Ukraina, Barat menegaskan bahwa mereka akan mempertimbangkan kembali hubungannya dengan Yerevan. Artinya, sekutu utama Rusia di Kaukasus Selatan dapat menghadapi hari-hari sulit terkait stabilitas internal.

Georgia

Situasi di sini berlawanan dengan Armenia, bahkan di luar fakta bahwa Rusia menaruh modal di Georgia dalam volume yang signifikan. Masalah utama Moskow ialah tidak adanya pihak pro-Rusia yang dapat diandalkan di negara ini.

Setelah kemerdekaan Abkhazia dan Ossetia Selatan dari Georgia, Rusia benar-benar kehilangan pengaruhnya atas Tbilisi. Langkah Georgia yang mengeluarkan sanksi terhadap Rusia cukup berisiko.

Pertama, Rusia sangat peduli terhadap citra internasionalnya, dan kedua, seperti yang terlihat dari pengalaman, meski pasar Rusia penting bagi Georgia, kerugian yang dihadapi Rusia tidaklah fatal.

Tbilisi telah lama mendeklarasikan diri sebagai pendukung integrasi Barat. Perubahan pemerintah tak mengubah sikap politik luar negeri mereka. Namun, masyarakat Georgia mulai kecewa terhadap Barat. Kehadiran kuasa politik pro-Rusia menjadi kian intensif di lembaga nonpemerintah. Namun, organisasi-organisasi tersebut tak bisa dianggap membentuk opini publik atau menciptakan otoritas, tidak dalam tahap tersebut.

Sama seperti Moldova, Georgia berencana menandatangani kesepakatan asosiasi dengan Uni Eropa. Melihat situasi di Ukraina dan pengalaman buruk pada Agustus 2008, Tbilisi kini mencoba memperhitungkan level risiko terkait langkah mereka. Ancaman utama yang mereka hadapi, menurut pakar lokal, datang dari ‘wilayah yang direbut — Abkhazia dan Ossetia Selatan — yang mungkin menghadapi provokasi dalam jangka panjang’.

Kabar yang tidak menggembirakan juga datang dari Javakheti, wilayah dengan mayoritas bangsa Armenia. Menurut beberapa laporan, jumlah warga yang mendapat atau menginginkan kewarganegaraan Rusia terus meningkat. Hal tersebut tentu mengkhawatirkan Tbilisi, yang telah menghadapi sentimen separatis di wilayah tersebut lebih dari sekali. Kekhawatiran juga muncul terhadap pemerintah Georgia sebelumnya, yang tak menyembunyikan rencananya dan terang-terangan mengancam akan melakukan ‘Maidan Ukraina’ di Tbilisi.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki