Foto: EPA/ANDREW GOMBERT
Intepretasi optimis dari pernyataan Clinton sepertinya salah tempat. Pernyataan Clinton tak bisa ditarik keluar dari konteks. Faktanya, mantan ibu negara tersebut mengingatkan akan bahaya yang dihadapi AS jika berkonfrontasi secara langsung dengan Rusia jika Ukraina ditarik sebagai anggota NATO.
Secara terang-terangan, Clinton menyebutkan, "Kita harus lebih pintar untuk menghadapi Putin dan ambisinya. Saya sudah pernah menghadapi beliau. Saya tahu Putin, dia bukan orang yang mudah, tapi saya rasa tak ada jalan lain selain pendekatan yang konstan."
Pendekatan yang sangat berhati-hati tersebut sejalan dengan Strategi Militer Nasional AS 2015 yang baru diluncurkan, yang menyebut Rusia dan Tiongkok sebagai ancaman keamanan terbesar bagi Amerika Serikat.
Jika Clinton terpilih menjadi presiden AS pada 2016, apakah kita akan menyaksikan perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Rusia? Wakil Direktur Institut Ekonomi Dunia dan Hubungan Luar Negeri di Russian Academy of Sciences Fyodor Voitolovsky menyampaikan opininya pada Troika Report:
"Saya rasa pertanyaannya bukan apakah Hillary Clinton akan menjadi presiden AS atau tidak, namun lebih pada bagaimana agenda politik jangka panjang hubungan Rusia dan Amerika. Apakah Amerika siap membina hubungan yang lebih baik untuk menormalisasi dialog terkait isu keamanan global, ekonomi, perdagangan, dan investasi dengan Rusia?"
"Pertanyaannya bukan apakah Demokrat atau Republik yang akan menguasai Gedung Putih selanjutnya, tapi mungkinkah pragmatisme menang dari arogansi Amerika dalam merancang kebijakan terhadap Rusia."
— Apakah pernyataan Clinton yang mengejutkan ini memperlihatkan munculnya bibit-bibit pemahaman antara Rusia dan AS meningkat dan langkah alternatif terlihat sebagai opsi yang lebih baik?
"Agenda hubungan bilateral AS dan Rusia tak sebatas dalam konteks krisis Ukraina. Tak seperti AS, isu Ukraina jauh lebih sensitif bagi Rusia. Sementara, AS perlu bekerja sama dengan Rusia dalam isu lain, seperti program nuklir Iran, Korea Utara, terorisme internasional seperti ISIS, menghadapi pergolakan di Timur Tengah dan Afganistan dalam dua hingga lima tahun mendatang."
Sementara, Kepala MacArthur Foundation Russia yang berbasis di Moskow Igor Zevelev, tak terlalu optimis mendengar pernyataan Clinton. Ia menyampaikan pada Troika Report:
"Menurut saya, pernyataan Clinton bukan sebuah kemajuan besar dalam kebijakan luar negeri Amerika. Sebaliknya, pernyataan Clinton merefleksikan tumbuhnya konsensus di AS, baik dari kubu Demokrat maupun Republik, yang tergambar dalam Strategi Militer Nasional AS terbaru. Pernyataan Clinton sejalan dengan semangat strategi tersebut, yang lebih penting dibanding pemilu presiden. Pendekatan AS merupakan kombinasi oposisi terhadap kebijakan Rusia yang dianggap agresif, yang tak sejalan dengan hukum internasional."
"Selain itu, konsensus merefleksikan pemahaman bahwa kerja sama di beberapa area seperti memerangi perdagangan narkoba internasional atau terorisme tentu diperlukan. Mereka membicarakan kerja sama terbatas di area yang menjadi kepentingan bersama. Bidang tersebut tak banyak, tapi memang ada."
Mungkin hal tersebut yang ada di kepala Putin saat mengirim telegram pada Obama. Ia menegaskan bahwa, "Rusia dan AS dapat mencari solusi bersama atas masalah internasional yang paling kompleks dan melawan ancaman dan tantangan global secara efektif." Namun, sulit untuk mencapai 'konsensus' dalam kelas-kelas politik AS yang disebutkan oleh Zevelev, karena aksi Rusia dilihat oleh AS sebagai ancaman global.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda