Kerap Berseberangan, Isu ISIS Bisa Satukan Rusia dan AS

Kehadiran kelompok teroris Islam radikal menjadi ancaman baik bagi Rusia maupun Amerika Serikat. Gerakan ekstremisme tersebut sedang menjadi tren yang merajalela di wilayah Timur Tengah saat ini.

Moskow dan Washington memiliki kepentingan yang berbeda di wilayah Timur Tengah. AS masih menjadi pembeli utama minyak Timur Tengah, dan sejumlah negara di wilayah tersebut merupakan mitra strategis AS di bidang keamanan dan pertahanan. Tak heran, AS memiliki basis militer di wilayah tersebut. Sementara, Rusia tak tertarik pada hal semacam itu.

Moskow bekerja sama dengan negara-negara Timur Tengah yang memiliki hubungan buruk dengan AS, sekaligus dengan mitra-mitra AS, seperti Turki misalnya. Secara umum, Rusia tak punya kepentingan mendesak di Timur Tengah. Namun, Rusia dan AS juga tak memiliki kontradiksi yang berarti di wilayah tersebut, meski pemerintah kedua negara memiliki pandangan yang berbeda terhadap rezim yang berkuasa di sana. Secara hipotesis, hal ini bisa menciptakan kesempatan bagi kedua negara untuk bekerja sama di bidang yang menjadi kepentingan bersama.

Namun, apa kepentingan bersama mereka? Kepentingan bersama yang paling utama tentu saja memerangi terorisme dan ekstremisme yang berkembang di Timur Tengah. Rusia dan AS sama-sama menginginkan stabilitas di Timur Tengah. Bahkan jika Washington, seperti yang diyakini oleh Rusia, berupaya untuk menciptakan ‘kekacauan’ di wilayah tersebut, saya rasa hal ini tak berhubungan dengan kepentingan jangka panjang AS. Perubahan rezim di negara-negara yang berseteru dengan Washington (atau yang tidak dikontrol oleh Washington) dapat menimbulkan masalah bagi AS, sama sekali tak memberi keuntungan. Kapan Libya bisa dikontrol dan siapa yang dapat mengontrolnya? Bukan AS. Bukan kebetulan bahwa politisi realis Amerika, seperti Henry Kissinger, mengkritik upaya intervensi AS yang gegabah di wilayah tersebut. Tapi, apakah Rusia dan AS bisa bekerja sama, misalnya untuk mengembalikan stabilitas di Libya? Tentu hal yang sangat bagus.

Sayangnya, kerja sama Rusia dan AS, bahkan dalam kepentingan bersama sekalipun, dipengaruhi oleh sejumlah ketegangan. Masalah utama yang menghadang adalah kondisi hubungan bilateral yang menyedihkan, yang menciptakan ketidakpercayaan yang cukup dalam satu sama lain. Jika krisis Ukraina berakhir pun, situasi ini sepertinya tak akan berubah secara signifikan. Di sisi lain, AS mendukung beberapa kelompok Islam yang dianggap ‘moderat’ di negara Arab. Sementara, Rusia mengangap kelompok-kelompok tersebut sama berbahayanya dengan Pasukan al-Nusra. Teroris tak bisa dikelompokan sebagai ‘teroris baik’ atau ‘teroris jahat’. Washington juga menolak bekerja sama dengan pemerintah Suriah, sedangkan Rusia menganggap Suriah sebagai mitra penting dalam memerangi terorisme.

Jika kita berasumsi bahwa kedua negara sadar mereka bisa mengalahkan terorisme dengan bekerja sama, Rusia pun tak akan siap untuk bergabung dengan koalisi yang dipimpin oleh AS, dan AS sudah tentu menjadi pemimpin. Padahal, saya yakin negara ini—yang telah belajar banyak dari pengalaman Amerika dan pengalaman Rusia sendiri—tak akan berperang di negara Arab, atau bahkan sekadar melakukan serangan udara. Moskow akan bersikeras untuk menyerahkan masalah ini ke Dewan Keamanan PBB.

Akan tetapi, Rusia tentu bersedia bekerja sama baik dengan Barat maupun dengan negara-negara regional untuk melawan terorisme, dan Rusia lebih memilih untuk bekerja sama dengan pemerintah yang masih berkuasa. Moskow sangat khawatir terhadap peningkatan jumlah para pejihad dari Rusia dan Asia Tengah yang bergabung dengan ISIS.

Saya rasa kebutuhan bagi Moskow dan Washington untuk bekerja sama pada akhirnya suatu saat akan muncul. Namun dengan mempertimbangkan semua hambatan yang telah disebutkan, kerja sama tersebut tak akan terlalu erat. Kemungkinan terbaik ialah kedua pihak akan memadukan upaya mereka dan berbagi informasi yang relevan, namun bergerak sendiri-sendiri, atau mungkin secara paralel. Artinya, kepercayaan satu sama lain akan sangat membantu untuk memperbaiki keretakan hubungan antara kedua negara.

Penulis adalah Direktur Studi Oriental di Russian Academy of Sciences dan doktor ilmu sejarah.

Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki