Pertemuan Menteri Luar Negeri AS John Kerry dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov di Sochi pada 12 Mei lalu, serta kedatangan Juru Bicara Menteri Luar Negeri AS Victoria Nuland ke Moskow (18/5) membuat para pakar kembali membicarakan perkembangan hubungan Rusia-AS. Namun, apakah itu benar-benar menunjukkan titik balik hubungan Moskow dan Washington?
Pertama dan yang terpenting, kita harus mengingat sesuatu yang hampir terlupakan: komunikasi bilateral bukan hanya tentang bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan. Pada masa Perang Dingin, AS dan Uni Soviet berupaya untuk mempertahankan komunikasi, namun bukan untuk mencapai kesepakatan atau menyelesaikan isu spesifik tertentu, melainkan untuk sesuatu yang lebih vital: kedua pihak berusaha memahami logika dan intensi pihak lain.
Kegagalan Kebijakan Pasca-Soviet
Sejak awal 1990-an, kedua negara mulai kehilangan kemampuan tersebut, seolah mereka tak membutuhkan hal itu lagi. Ancaman perang tak lagi dipersepsikan sebagai hal yang nyata, dan negosiasi selanjutnya dianggap harus memberikan hasil yang riil. Namun, perubahan situasi politik pada 2014 dan 2015 telah membuktikan bahwa harapan untuk mengakhiri semua konfrontasi ini adalah hal yang delusional. Kebiasaan dan sikap yang ditunjukkan pada masa Perang Dingin telah kembali, namun kali ini tak ada instrumen untuk tetap saling mengawasi satu sama lain.
Kebijakan AS terhadap Rusia sejak bergabungnya Krimea ke Rusia dapat dirangkum sebagai berikut: meminimalisir segala bentuk komunikasi hingga Kremlin mengubah sikapnya.
Kebijakan ini tak menghasilkan apa-apa. Ekspektasi AS bahwa Rusia akan mengubah posisinya terkait Ukraina tetap tak terpenuhi. Di sisi lain, Moskow tak bisa diandalkan untuk mengembalikan stabilitas Ukraina dan tanpa melibatkan Amerika Serikat. Akhirnya, ketegangan mulai meruak, terwujud dalam beragam insiden tak menyenangkan yang melibatkan pesawat dan kapal perang Rusia dan NATO.
Namun, ini bukan berarti AS dan Rusia memasuki Perang Dingin babak baru. Masih ada beberapa "tantangan bersama" yang harus dihadapi. Misalnya, Rusia dan AS mungkin memiliki pandangan yang berbeda mengenai penyebab situasi di Timur Tengah, namun mereka sama-sama sepakat bahwa ISIS adalah ancaman baik bagi Rusia maupun Amerika.
Peninggalan Obama
Presiden AS Barack Obama memasuki tahap akhir masa kepemimpinannya, dan biasanya ini merupakan waktu di mana para presiden benar-benar memikirkan hal apa yang mereka wariskan. Obama menjadi presiden dalam periode yang sulit, ketika dekonstruksi tatanan dunia tengah meningkat, sehingga sulit untuk mencapai kesuksesan internasional. Tentu, ia tak berhasil menghindari beberapa kesalahan. Pada konteks ini, ia perlu lebih fokus untuk mengukir sejarah di area yang memungkinkan. Bagi Obama, hal itu adalah Iran, dan mungkin Kuba.
Penyelesaian masalah di Iran membutuhkan kerja keras di semua lini. Konsensus yang hendak dicapai tergolong rapuh, sehingga perlu kerja sama maksimal dengan semua pihak, termasuk Rusia.
Secara lebih luas, Presiden Obama yakin tak akan meninggalkan Timur Tengah di masa yang kacau seperti ini. Ia butuh kerja sama, atau sikap yang kooperatif, dari Rusia. Ukraina, sebaliknya, tak mungkin memberi 'kenangan manis' bagi masa pemerintahan Obama, dan ia paham bahwa tak akan ada perubahan instan yang terjadi di sana.
Oleh karena itu, tahap baru hubungan Rusia-AS (hingga 2017) mungkin akan seperti ini: kedua pihak akan menciptakan komunikasi antara pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam bidang keamanan politik dan militer, untuk meminimalisasi risiko 'tabrakan' yang tak disengaja. Mereka juga akan bertukar pandangan mengenai situasi di Timur Tengah dan mengelaborasi langkah yang mungkin dilakukan. Tak akan ada konsensus, namun tak akan ada pula konfrontasi langsung. Terkait Iran, kedua negara mungkin akan bekerja bersama, sementara di Suriah mereka tak mungkin mengambil tindakan besar. Pendirian mengenai Ukraina yang bertolak belakang akan tetap sama, namun sangat mungkin kedua pihak mencoba menghindari ketegangan.
Modus vivendi (persetujuan sementara antara kedua belah pihak yang bersengketa -red.) yang dideskripsikan di sini tak menunjukkan bahwa retorika akan berkurang; malah, reduksi ketegangan yang sesungguhnya mungkin akan dikompensasi bahkan oleh pernyataan yang bersifat memusuhi. Secara umum, situasi ini mungkin akan berlanjut hingga berakhirnya masa kepresidenan Obama.
Selain itu, situasi juga akan tergantung pada banyak faktor, salah satunya pada hubungan kedua negara dengan Tiongkok.
Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia di Rossiyskaya Gazeta.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda