Pernikahan Poligami Kontroversial di Chechnya Picu Kemarahan Warga Rusia

Acara penikahan seorang gadis berusia 17 tahun, Kheda Goylabiyeva dari desa Chechnya, dengan kepala departemen kepolisian setempat Nazhud Guchigov yang telah berusia 57 tahun. Foto: AP

Acara penikahan seorang gadis berusia 17 tahun, Kheda Goylabiyeva dari desa Chechnya, dengan kepala departemen kepolisian setempat Nazhud Guchigov yang telah berusia 57 tahun. Foto: AP

Berita mengenai pernikahan poligami kerap mengundang reaksi pro dan kontra di tengah masyarakat. Pada akhir bulan lalu, pernikahan antara seorang polisi berusia 57 tahun—yang sudah beristri—dengan seorang gadis Chechen berusia 17 tahun menciptakan kontroversi dan memicu kemarahan para aktivis hak asasi manusia di Rusia. Namun, pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov secara terbuka mendukung pernikahan tersebut. RBTH bertanya pada beberapa pakar mengenai keabsahan pernikahan semacam ini.

Pada 2008 lalu, Indonesia dikejutkan dengan kabar yang beredar di berbagai media mengenai pernikahan seorang syekh yang telah beristri dengan seorang gadis berusia 12 tahun. Rencana pria bernama lengkap Pujiono Cahyo Widianto atau yang biasa dipanggil Syekh Puji ini praktis menimbulkan pro dan kontra. Dengan dalih menjalankan perintah agama, Syekh Puji merasa bahwa apa yang ia lakukan sama sekali tidak bertentangan. Namun di sisi lain, Syekh Puji dinilai telah melanggar Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

Hal serupa juga terjadi di Rusia. Sejak akhir April lalu, media Rusia ramai memberitakan kabar penikahan seorang gadis berusia 17 tahun, Kheda Goylabiyeva dari desa Chechnya, dengan kepala departemen kepolisian setempat Nazhud Guchigov yang telah berusia 57 tahun. Kisah tersebut pertama kali diberitakan oleh surat kabar liberal Rusia Novaya Gazeta, yang menyebutkan bahwa orangtua sang gadis sebenarnya tak mau menikahkan putri mereka dengan orang yang "lebih pantas dipanggil kakek" oleh anak mereka itu, namun keluarga Kheda diancam anak mereka akan diambil secara paksa jika pernikahan tersebut tak disetujui.

Novaya Gazeta menghubungi calon mempelai pria, yang menyangkal bahwa ia hendak menikahi Kheda. Ia bahkan menyebutkan dirinya telah memiliki seorang istri. Namun, tak lama kemudian pemberitaan mengenai proses pernikahan tersebut dikonfirmasi oleh pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov (yang mengenai Guchigov secara personal). Kadyrov menyampaikan dukungannya secara terbuka terhadap pernikahan tersebut, dan mengatakan orangtua pengantin perempuan tak merasa keberatan akan hal itu.

Kabarnya, pernikahan tersebut tetap dilanjutkan, tepatnya dilaksanakan pada Sabtu (16/5). "Perbedaan usia mereka 30 tahun dan orangtua sang gadis merestui pernikahan ini," tulis Kadyrov di akun Instagram-nya.

"Hal yang Biasa"

Pemberitaan heboh mengenai skandal ini membuat Menteri Informasi Chechnya dan media lokal disalahkan karena mengabaikan cerita kontroversial ini dan tidak mencari kebenaran berita. "Semua orang membicarakan hal ini, semua media! Mengapa kalian tidak memberitakannya?" tanya Kadyrov dalam pertemuan dengan perwakilan media Chechen.

Diskusi mengenai pernikahan paksa Kheda yang masih di bawah umur dengan pria berumur untuk dijadikan istri kedua di bawah hukum syariah sampai hingga level federal.

 

Reaksi awal dari Ombudsman Hak Anak Rusia Pavel Astakhov, yang pada dasarnya menolak ikut campur dalam konflik tersebut, mengundang kontroversi. Layanan pers Ombudsman Hak Anak menyebutkan mereka telah menerima komplain dari orangtua dan keluarga Kheda, namun "kami tak melindungi orang secara terpaksa". Anggota parlemen Rusia mengkritik sang ombudsman yang dinilai pasif dan mengingatkan bahwa di bawah Konstitusi Rusia, hak ibu dan anak dilindungi oleh negara. Astakhov kemudian menyampaikan pada Russian News Service bahwa pernikahan dini di Kaukasus adalah hal yang biasa, dan usia minimal perempuan untuk menikah diatur oleh pemerintah daerah. "Di Chechnya, usia minimal adalah 17 tahun, di Bashkortostan 14 tahun, di Wilayah Moskow 16 tahun. Beberapa daerah belum menetapkan usia minimal untuk pernikahan," terang Astakhov.

Hal senada diungkapkan pemimpin redaksi situs Kavkazsky Uzel dan seorang pakar masalah Kaukasus Utara Grigory Shvedov. "Pernikahan antara gadis muda di daerah pedesaan dengan lelaki yang lebih tua adalah praktik umum," kata Shvedov. Menurut Shvedov, pernikahan tersebut kerap melibatkan tindak kekerasan. "Meski tak ada ancaman terhadap nyawa atau fisik secara langsung, namun anak-anak perempuan itu mendapat tekanan psikologis." Akan tetapi, lanjut Shvedov, jarang yang mempermasalahkan hal tersebut, sehingga mereka biasanya pasrah dan tidak mencari pertolongan. "Selain itu, tak ada mekanisme yang jelas mengenai dukungan negara dalam kasus semacam ini," terang Shvedov.

Di Bawah Hukum Syariah

Jika kontra mengenai perbedaan usia disanggah dengan sejumlah contoh pasangan terkenal yang memiliki perbedaan usia jauh, masalah poligami memicu kemarahan publik. Kepala Dewan Kepresidenan Hak Asasi Manusia Mikhail Fedotov telah melaporkan hal ini pada kantor kejaksaan, sementara ombudsman hak asasi manusia Ella Pamfilova mengimbau pemimpin Chechnya.

Kadi adalah hakim yang mengadili segala perkara yang bersangkut-paut dengan agama Islam.

Hukum Rusia melarang poligami, namun di beberapa wilayah yang didominasi Muslim, peraturan semacam ini tidak begitu jelas. Misalnya, di bawah hukum Syariah, seorang lelaki dibolehkan memiliki istri hingga empat orang. Pernikahan tersebut disahkan oleh imam atau kadi. "Mereka tak memiliki kekuatan hukum dan tidak berhak menentukan legalitas sebuah pernikahan," kata Vladimir Bobrovnikov, Kepala Divisi Kaukasus di Institute of Oriental Studies, Russian Academy of Sciences.

"Ini bukan konflik antara hukum Syariah dan hukum nasional," kata pemimpin organisasi Muslim masyarakat Al-Haq (Keadilan), Kamilzhan Kalandarov. "Kantor catatan sipil di Chechnya tak pernah mencatat pernikahan seorang laki-laki dengan beberapa perempuan. Saya kenal beberapa orang Rusia yang memiliki seorang istri dan beberapa selir. Dan hal itu tak jadi masalah," kata Kalandarov. Ia menambahkan bahwa pemahaman mengenai republik Muslim tak bisa dilakukan dengan pendekatan standar Eropa ataupun standar Moskow.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki