AS dan Rusia Saling Tuduh Langgar Perjanjian Nuklir

Menteri Luar Negeri AS John Kerry berpidato dalam pembukaan Konferensi Peninjauan Kembali Trakat Nonproliferasi Nuklir di Markas Besar PBB, New York, AS (27/4). Foto: Reuters

Menteri Luar Negeri AS John Kerry berpidato dalam pembukaan Konferensi Peninjauan Kembali Trakat Nonproliferasi Nuklir di Markas Besar PBB, New York, AS (27/4). Foto: Reuters

Memburuknya hubungan Rusia dan Amerika Serikat dapat berdampak buruk terhadap kerja sama kedua negara di bidang pelucutan dan nonproliferasi senjata nuklir. Menteri Luar Negeri AS John Kerry menuduh Moskow melanggar salah satu kesepakatan kunci dari era Perang Dingin dan merusak rezim nonproliferasi senjata nuklir. Namun, para pakar menilai, tuduhan tersebut hanyalah bagian dari kampanye propaganda anti-Rusia.

Saat berpidato dalam pembukaan Konferensi Peninjauan Kembali Trakat Nonproliferasi Nuklir, Menteri Luar Negeri AS John Kerry mencela “pelanggaran terang-terangan” yang dilakukan Moskow terhadap Traktat Kekuatan Nuklir Jarak Menengah (Intermediate-Range Nuclear Forces/INF), mendesak Rusia untuk segera mengurangi jumlah senjata nuklirnya, serta menuduh Rusia mengabaikan Memorandum Budapest 1994 mengenai penjaminan atas keamanan Ukraina.

Butuh Bukti

Sementara, diplomat Rusia menilai Kerry hanya menyampaikan celaan tanpa menunjukan bukti. Saat berbicara di New York, Direktur Departemen Nonproliferasi dan Kontrol Senjata Kementerian Luar Negeri Rusia Mikhail Ulyanov menyebut pernyataan Kerry sebagai “tuduhan tak berdasar”, dan AS “menolak, bahkan sepertinya gagal, menghadirkan fakta konkret yang membuktikan tuduhan tersebut.” Sang diplomat menilai justru kebijakan AS yang menjadi tantangan serius bagi pengurangan jumlah senjata nuklir di dunia. Secara khusus, Ulyanov menyinggung kebijakan AS terkait serangan mendadak, penempatan sistem pertahanan misil unilateral, serta penolakan AS untuk memulai negosiasi larangan penempatan senjata di luar angkasa.

Dmitry Yevstafyev, profesor di Higher School of Economics dan pakar di bidang nonproliferasi nuklir, menyampaikan pada RBTH bahwa tak ada bukti pelanggaran INF oleh Rusia. "Itu hanya rumor yang didasarkan pada interpretasi sejumlah penelitian ilmiah tertentu yang dilakukan di Rusia,” kata Yevstafyev.

Pada 2014, media AS melaporkan bahwa Moskow menguji misil darat-ke-darat jarak menengah dan melanggar ketentuan yang tercantum pada Traktat INF 1987. Dokumen ini melarang produksi, uji coba, dan penempatan misil jelajah dan misil balistik berbasis darat dengan jarak antara 500-5.500 kilometer.

Pyotr Topychkanov, koordinator program nonproliferasi dari Carnegie Moscow Center menyebutkan bahwa Trakat INF memiliki perangkat yang membolehkan semua pihak mendiskusikan masalah yang muncul dalam implementasi peraturan itu, namun AS tidak memanfaatkan kesempatan tersebut. “Washington tak mencoba menyelesaikan masalah yang ini di level bilateral, malah menggembar-gemborkan topik ini di media dan membawanya ke level multilateral,” kata Topychkanov.

Rusia Mulai Kurangi Jumlah Senjata Nuklir

Dalam pidatonya, Kerry menyinggung Strategic Arms Reduction Treaty (START III), yang ditandatangani oleh Rusia dan AS beberapa tahun lalu. Ia menyebutkan bahwa kesepakatan ini sedang memang mulai diterapkan oleh kedua pihak, namun Washington terus mendesak Moskow untuk mengurangi jumlah cadangan nuklirnya hingga 30 persen.

Menurut Yevstafyev, Rusia memang tak siap mengurangi potensi nuklirnya lebih jauh. Ia menjelaskan, pengurangan armada nuklir strategis melebihi kesepakatan yang tercantum dalam START III akan memberi AS “kesempatan” untuk menyerang Rusia dengan senjata konvensional seperti misil jelajah.

Topychkanov menyebutkan, START III saat ini masih dalam proses implementasi keseluruhan oleh kedua pihak, sehingga pernyataan Kerry terbilang prematur, karena kesepakatan tersebut memiliki tenggat hingga 2020. Sang pakar juga menyebutkan, Rusia tak memiliki alasan untuk mengurangi jumlah senjata nuklirnya melebihi kesepakatan START III.

"Pesan yang Salah"

Mengomentari pernyataan Kerry mengenai Rusia yang tak menghormati Memorandum Budapest (terkait jaminan keamanan bagi Ukraina sehubungan dengan peningkatan Traktat Nonproliferasi), Topychkanov menyebutkan bahwa “kejadian di Ukraina (bergabungnya Krimea ke Rusia) mengirim “pesan yang salah” pada negara-negara yang tengah mempertimbangkan untuk mengakuisisi senjata nuklir.” Menurut sang pakar, mereka bisa jadi melihat Ukraina malah kehilangan bagian dari wilayahnya setelah menyerahkan senjata nuklirnya.

Sementara menurut Yevstafyev, saat Memorandum Budapest ditandatangani, hubungan Moskow dan Kiev berstaus netral, namun belakangan pemimpin Ukraina mulai mengincar keanggotaan NATO. “Dari perspektif faktor politis yang terlihat dalam memorandum, Ukraina sendiri telah melanggar memorandum tersebut (dengan mengungkapkan keinginannya untuk bergabung dengan NATO),” kata Yevstafyev.

Baca juga: Jawab Tindakan AS, Rusia Rancang Kereta Tempur Nuklir Terbaru >>>

Artikel Terkait

Putin: Gudang Senjata Nuklir Rusia Telah Dikurangi Hingga Level Minimum

Prototipe Misil Balistik Antarbenua RS-26 Terbaru Akan Dipamerkan pada AS

Diplomat Rusia: AS Langgar Trakat Nonproliferasi dengan Latih Pilot Asing untuk Gunakan Senjata Nuklir

Rudal Rusia SS-18, Ancaman Terbesar bagi AS

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki