Suramnya prospek kerja sama ekonomi dengan Barat serta ancaman resesi yang mengintai Rusia membuat langkah Rusia mengubah haluan dan membangun hubungan kerja sama yang lebih kuat dengan Asia terlihat sebagai keputusan yang logis. Selain itu, Rusia perlu masuk ke 'lokomotif pembangunan' Asia jika ingin mengembangkan diri secara maksimal, karena pembangunan Siberia dan Timur Tengah tak mungkin tercapai tanpa dukungan yang kuat dari pasar Asia.
Dan inilah hal yang paling penting: itu semua tak mungkin bisa tercapai jika Asia Timur tergelincir memasuki perang regional. Tak perlu menyinggung titik-titik panas seperti Pulau Senkaku atau Semenanjung Korea, memburuknya situasi di Laut Cina Selatan saja dapat membuat Rusia mengalami kerugian besar.
Pertama, bentrokan di wilayah maritim yang kecil sekalipun pasti akan mengacaukan rute perdagangan melalui jalur laut. Sementara, lebih dari separuh ekspor minyak dunia dikirim melalui Laut Cina Selatan, untuk memasok Tiongkok, Korea Selatan, dan Taiwan dengan sumber daya yang mereka dibutuhkan guna kepentingan produksi industri. Jika rantai pasokan global terputus, perekonomian Eropa, termasuk Rusia, akan ikut hancur. Jelas, itu merupakan sebuah risiko yang tak layak diambil.
Kedua, proyek ekonomi Rusia sendiri juga akan dirugikan oleh sengketa antarnegara di Laut Cina Selatan. Perusahaan-perusahaan Rusia yang hendak memasuki pasar energi Asia Tenggara, terutama perusahaan tambang minyak lepas pantai dan ekplorasi gas, akan menemui kesulitan. Gazprom telah menghadapi masalah di blok eksplorasi yang diklaim oleh Vietnam dan Tiongkok sekaligus. Beberapa perusahaan India juga mengalami hal serupa. Artinya, ini merupakan masalah sistemik yang akan membayangi banyak proyek pengeboran lepas pantai bersama.
Terakhir, dan mungkin yang paling penting, sengketa enam negara di wilayah Laut Cina Selatan tersebut mengancam integritas ASEAN sebagai sebuah komunitas. Keretakan yang terjadi dalam institusi diplomasi multilateral tersebut memiliki konsekuensi serius bagi isu keamanan regional, sekalipun tanpa melibatkan konflik bersenjata.
Jika dilihat secara jujur, negara-negara ASEAN tak memiliki solidaritas kebersamaan terkait wilayah yang disengketakan. Kubu-kubu yang tercipta ialah pelaku klaim dan pihak yang tidak melakukan klaim. Pihak yang tak melakukan klaim, yakni Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, Indonesia, dan Singapura, tidak tertarik terlibat konfrontasi dengan Tiongkok. Tak ada satu pun yang mau menggangu Beijing, ketika perdagangan dan investasi mereka juga bergantung pada itikad baik Beijing.
Tanpa konsolidasi, ASEAN hanya akan menjadi forum diskusi, bukan menjadi alternatif bagi kekuatan politik besar yang sepertinya akan memecah-belah wilayah tersebut dalam beberapa tahun ke depan. Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam organisasi post-modern seperti ASEAN harus memiliki alternatif aliansi selain Tiongkok dan AS. Dan, itu adalah hal yang juga dibutuhkan oleh Rusia. Ketika tiba waktunya perusahaan Rusia memasuki Asia Tenggara secara penuh, Moskow tak perlu khawatir apakah sang 'penguasa wilayah' akan menerima kerja sama semacam itu. Jika ASEAN telah kuat dan mandiri, kekuatan yang lebih lemah dan menengah di Asia Timur akan menikmati otonomi yang lebih besar dari Beijing dan Washington.
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Anton Tsvetov adalah Manajer Hubungan Pemerintah dan Media di Dewan Hubungan Internasional Rusia (Russian International Affairs Council/RIAC). Ia kerap menyampaikan pandangannya mengenai kebijakan luar negeri Asia dan Rusia melalui akun Twitter-nya, @antsvetov. Pandangan yang diekspresikan dalam tulisan ini adalah pandangan pribadi yang tidak merefleksikan pandangan RIAC.
Baca selanjutnya: Tiongkok dan AS Akan Bentrok? >>>
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda