Tiga Puluh Tahun Pasca-Perestroika, Apakah Revolusi Rusia Terlalu Prematur?

Tatyana Perelygina
Hingga hari ini, konsekuensi dari perestroika masih mengundang kontroversi di kalangan masyarakat Rusia. “Paradoks Gorbachev” yang diyakini baik oleh oposisi maupun pendukungnya ialah bahwa perestroika yang ia cetuskan berakhir dengan kegagalan. Banyak pihak mencela Gorbachev atas apa yang ia lakukan, sementara beberapa lainnya menyalahkan Gorbachev karena ia dianggap tidak memenuhi semua janjinya.

Intinya, sang inisiator perestroika dituduh tidak konsisten, penuh keragu-raguan, dan menggunakan taktik yang zigzag. Kehati-hatiannya, hasratnya untuk membiarkan masyarakat menjadi matang terlebih dulu demi sebuah perubahan, dan tindakannya yang cenderung mendorong dari belakang bukannya memimpin, dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah inkonsistensi dan sikap tidak tegas.

Namun, jika ada yang mencoba menghubungkan perubahan-perubahan besar yang terjadi selama masa Uni Soviet dengan garis putus-putus, taktik zigzag yang 'tidak tegas' dari Gorbachev akan menghasilkan garis yang hampir lurus. Saya hendak menyinggung fakta bahwa, menurut saya, perestroika adalah 'residu yang tak bisa dilenyapkan'. Sejak kemunculan perestroika, Rusia telah menggigit 'apel' demokrasi: pemilu bebas dan glasnost, serta menjadikan kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi sebagai daftar prioritas bagi masyarakat.

Setelah mengklaim diri sebagai peradaban alternatif dan berkontribusi pada dunia melalui doktrin ideologisnya, Moskow berinisiatif mengakhiri Perang Dingin—yang hampir berujung pada Perang Dunia III. Hasilnya, Rusia kembali menyatukan diri dengan sejarah dunia, yang sebelumnya terpecah dalam dua blok pada awal abad ke-20, setelah Revolusi Rusia.

Namun, di dunia yang fana ini, ada harga yang harus dibayar untuk semua hal yang dilakukan. Harga yang harus dibayar Gorbachev untuk transformasi negaranya dan politik dunia adalah kehancuran Uni Soviet dan lengsernya dirinya dari jabatan.

Barat tak tahan menolak godaan untuk mendeklarasikan diri sebagai pemenang Perang Dingin yang absolut dan pewaris tunggal sejarah. Gorbachev lantas menyadari bahwa tak ada sekutu yang lebih dapat diandalkan dibanding mantan kolega partainya yang telah mengkhianatinya.

Kini, Gorbachev menyalahkan Barat bukan karena para pemimpin Barat gagal menyediakan bantuan yang dibutuhkan Rusia (ia tahu bahwa nasib perestroika tidak bergantung pada Barat), namun karena Barat tak memanfaatkan kesempatan unik saat ia mengeluarkan kebijakan baru untuk membuka diri pada dunia secara layak. Mereka menganggap langkah masyarakat Soviet menuju demokrasi hanyalah manifestasi dari kelemahan internal.

Baik proyek 'kembalinya' pecahan-pecahan Uni Soviet menjadi bagian dari Eropa maupun ide untuk menciptakan struktur baru keamanan kolektif di benua tersebut (termasuk menciptakan Dewan Keamanan), tak berhasil membantu menghindari tragedi berdarah di Yugoslavia dan drama konflik militer di Ukraina saat ini.

Ternyata, lebih mudah menghancurkan Tembok Berlin daripada melenyapkan logika yang telah tertanam dan secara psikologis diprogram untuk menjadikan kebencian sebagai instrumen kebijakan.

Tindakan mempertahankan tembok tua serta membentuk tembok-tembok penghalang baru menunjukan bahwa di abad ke-21, politik—baik Barat maupun Timur—belum siap untuk menyingkirkan semua prasangka dan stereotipe. Inilah alasan mengapa Perang Dingin digantikan dengan banyak konflik 'panas' di seluruh dunia.

Perang Dingin yang sudah memudar, yang diyakini Gorbachev telah ia kubur demi kebaikan, melalui pertemuannya dengan presiden-presiden Amerika di Reykjavik, Malta, Washington, serta Moskow, dengan cepat kembali menerpa hubungan Rusia-Amerika.

Tiga puluh tahun sejak dicetuskan, masyarakat Rusia melihat perestroika sebagai kegagalan politik, bahkan proyek antinasional subversif. Artinya, tujuan utama perestroika yang pada kala itu didukung oleh seluruh masyarakat Soviet sebagai suatu upaya penyatuan kembali Rusia dengan sejarah dunia dan pembaharuan demokrasi negara, entah telah salah dipahami atau secara sadar ditolak. Demikian pula dengan opini pluralisme, peraturan hukum, pemilihan pemimpin yang adil, hak asasi manusia, kompetisi nyata pada ekonomi dan politik, serta akuntabilitas masyarakat pada publik.

Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki