Bagi Kremlin, sangatlah penting untuk menunjukkan bahwa tidak seluruh Eropa sepakat dalam menjatuhkan hukuman terhadap Rusia.
Negara-negara pencetus sanksi internasional kepada Rusia ternyata salah menduga bahwa Moskow tidak akan memiliki banyak pilihan alternatif dalam menghadapi “isolasi” dunia. Moskow justru memiliki banyak pilihan yang tak terbatas. Berbagai mitra potensial dapat ditemukan, terutama di antara negara-negara yang skeptis terhadap Eropa.
Pada pertengahan Februari lalu, Presiden Putin berkunjung ke Hongaria. Putin dan Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban berhasil menyepakati ketentuan ekspor gas terbaru sekaligus menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral sekunder. Hal ini mungkin bukanlah sesatu yang besar, tapi dalam keadaan krisis saat ini, kesepakatan tersebut sangatlah bermakna.
Bagi Kremlin, sangatlah penting untuk menunjukkan bahwa tidak seluruh Eropa sepakat dalam menjatuhkan hukuman terhadap Rusia. Pada kenyataannya, masih ada pemimpin-pemimpin di Eropa yang siap bekerja sama dengan Rusia. Dalam hal ini, Orban membutuhkan gas dengan harga yang terjangkau, dan secara bersamaan dapat “menggoda” Uni Eropa dengan berpose di depan kamera bersama Putin sekaligus mendapatkan beberapa pilihan.
Selain Orban, partai sayap kiri pemenang pemilihan parlemen Yunani, Syriza, juga tertarik membina pertemanan dengan Moskow. Sejak 2008 lalu dan hingga kini, Yunani masih terjebak dalam lubang utang. Yunani merasa perlu menekan Uni Eropa agar mereka bisa mendapatkan persyaratan pelunasan utang yang lebih menguntungkan. Oleh karena itu, mereka pun berusaha “mendekat” ke Moskow.
Berkaca pada peristiwa-peristiwa tersebut, secara formal dapat dikatakan bahwa tembok penolakan dari sisi Eropa telah ditembus. Meskipun hanya di bidang ekonomi, masih ada harapan hubungan Rusia dengan mitra-mitranya di Eropa secara bertahap dapat kembali pulih. Namun, Moskow telah mencatat bahwa Uni Eropa ternyata tidak mampu menunjukkan dirinya sebagai kekuatan independen di dunia politik. Oleh karena itu, antusiasme Kremlin terhadap Uni Eropa tidak akan lagi sama seperti dulu.
Moskow tidak hanya mencari mitra-mitra baru di dataran Eropa saja. Sejumlah upaya intensif dikerahkan untuk dapat memperoleh kemajuan di Asia dan di Timur Tengah.
Terobosan pertama pada tahun 2014 adalah pendekatan dengan Mesir. Negara terbesar dalam dunia Arab yang juga merupakan mitra penting AS di kawasan Arab ini menyatakan keinginannya untuk kembali membeli persenjataan buatan Rusia dalam partai besar dan bahkan mengembangkan hubungannya dengan Moskow dalam semua bidang.
Kunjungan Vladimir Putin mengingatkan kita mengenai terobosan yang dilakukan Nikita Khrushchev pada awal era 1960-an. Terlebih, hasil kunjungan Putin ke Kairo belum lama ini pun mengundang fenomena deja vu. Ketika itu, Khrushchev membangun bendungan Aswan dengan kredit. Kini, Putin juga berencana membangun PLTN pertama di Mesir dengan bantuan kredit.
Selain itu, hubungan Iran dan Rusia pun terus berkembang. Kesepakatan yang dibicarakan secara luas pada tahun 2014 mengenai pembelian minyak mentah Iran oleh Rusia seharga 20 miliar dolar AS tidak terwujud. Namun, Teheran tetap membutuhkan teknologi canggih, persenjataan, dan pengembangan energi nuklir.
Masih ada satu lagi negara kelas berat di kawasan tersebut, yaitu Turki. Negara ini juga tidak terburu-buru bergabung dalam penjatuhan sanksi sepihak kepada Rusia. Sebaliknya, Ankara sangat ingin bergabung dalam proyek pembangunan jalur pipa gas ke Eropa Selatan yang telah diblokir oleh Uni Eropa.
Bagaimanapun juga, kesuksesan Rusia di Timur Tengah bukanlah pergerakan politik luar negeri Rusia yang utama. Setelah percekcokan dengan Eropa, negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) menjadi mitra paling penting bagi Rusia.
Meskipun negara-negara anggota BRICS tidak mendukung bergabungnya Krimea pada April 2014 lalu, negara-negara tersebut sama sekali tidak menghakimi Moskow terkait peristiwa tersebut. Dengan demikian, muncul kesan bahwa negara-negara BRICS pada prinsipnya sudah lelah terhadap politik AS yang kikuk selama beberapa dekade terakhir, yang kerap mengklaim sebagai “penyelamat bangsa”, tetapi di satu sisi kondisi politik dalam negerinya bergantung pada gejolak perseteruan antara partai Republik dan Demokrat.
Tiongkok di tahun ini telah menyepakati sejumlah perjanjian bisnis di bidang energi dalam jumlah besar dengan Rusia. Sementara, India tetap melanjutkan pembelian persenjataan milik Rusia.
Dari negara-negara inilah posisi Rusia akan bergantung di dunia modern saat ini. Kini, mereka masih menjaga hubungannya dengan Moskow. Oleh karena itu, tidak perlu bicara masalah isolasi terhadap Rusia.
Akan tetapi, ada biaya besar yang yang harus dibayar dengan perubahan orientasi politik luar negeri Rusia. Semua mitra-mitra Rusia sekarang ini, tanpa terkecuali, adalah negara-negara yang berharap mendapatkan posisi yang lebih menguntungkan bagi mereka, baik dalam pengiriman sumber energi maupun senjata.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda