Ilustrasi oleh Konstantin Maler.
Namun, banyak pakar ahli dari Rusia dan negara lain meyakini bahwa tujuan utama Revolusi Payung bukan untuk melindungi nilai-nilai demokrasi, melainkan untuk memberi tekanan terhadap Tiongkok Daratan.
Departemen Luar Negeri AS terus mendukung gerakan Revolusi Payung tersebut. Aksi protes di zona komersial Hongkong itu tidak lepas dari peran organisasi National Endowment for Democracy (NED) yang didanai oleh Departemen Luar Negeri AS dan filialnya National Democratic Institute for International Affairs (NDI) di Hongkong. Sejak 2005, lembaga-lembaga tersebut telah menginsiasi program-program kaderisasi pemimpin muda Hongkong.
Salah seorang pemimpin gerakan Occupy Central, profesor bidang Hukum Universitas Hongkong Benny Tai, memiliki keterkaitan dengan program tersebut. Salah satu tokoh penting Revolusi Payung lain, organisator partai demokrasi Hongkong Martin Lee, belum lama ini berkunjung ke AS dan ia sempat bertemu dengan Wakil Presiden AS Joseph Biden.
Itu semua merupakan beberapa hal yang menjadi dasar bagi Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi untuk meminta Menteri Luar Negeri AS John Kerry menghentikan dukungannya terhadap aksi demonstrasi di Hongkong.
Seperti yang diketahui, Tiongkok sendiri sudah bersiap menghadapi gerakan serupa. Pada Mei lalu, dalam salah satu pertemuan internasional, Menteri Keamanan Publik Republik Rakyat Tiongkok menyatakan bahwa “revolusi warna” (gerakan demonstrasi tanpa kekerasan terhadap pemerintah) menjadi salah satu elemen untuk menekan Tiongkok modern. Bukan kebetulan gerakan protes Occupy Central dilakukan pada 1 Oktober, saat Tiongkok memperingati Hari Nasional. Itu merupakan waktu yang paling cocok untuk melakukan perjalanan, dan ribuan warga Tiongkok Daratan berbondong-bondong mengunjungi Hongkong untuk berlibur. Alhasil, mereka bisa melihat contoh jelas gerakan aksi protes massal serta bagaimana cara memprotes pemerintahan tanpa memaksa mereka memberikan tanggapan menggunakan kekerasan.
Muncul pertanyaan, untuk apa aksi protes massal di salah satu zona komersial Hongkong itu dilakukan?
Pertama, kejadian tersebut jelas menunjukkan sikap para demonstran Hongkong yang berlawanan dengan pemerintah Tiongkok. Aksi protes itu sendiri lebih diarahkan untuk menentang pemerintah pusat Tiongkok daripada pemerintah administrasi Hongkong sendiri. Aksi tersebut sepertinya menjadi stimulus atau contoh bagi munculnya aksi protes serupa di kota-kota Tiongkok lain, karena terdapat cukup banyak masalah sosial yang berhubungan dengan kenaikan harga serta kekurangan lapangan kerja di sana.
Kedua, kejadian di Mong Kok ini seharusnya menjadi sinyal bagi Beijing dan menunjukkan bahwa penolakan untuk bergabung dalam kebijakan sanksi milik AS dapat memberi dampak negatif bagi Tiongkok. Tingkat integrasi Hongkong sebagai pusat perdagangan dan keuangan dunia terbesar dengan sistem ekonomi dunia sangatlah kompleks, sehingg jika perlu, dapat menyebabkan masalah dalam sistem tersebut.
Ketiga, peristiwa di Hongkong ini juga menggambarkan pertentangan antara Tiongkok dengan AS di region Asia Pasifik.
Tiongkok tetap menunjukan sikap tenang menghadapi aksi protes di Hongkong, dengan memberi kewenangan bagi Pemerintah Daerah Adminsitratif Hongkong untuk menyelesaikan sendiri masalah tersebut. Ini menunjukan kepercayaan diri Tiongkok akan kekuatannya.
Aksi protes di Hongkong ini merupakan sinyal yang membuktikan bahwa “revolusi warna” masih merupakan sebuah senjata politik yang ampuh. Apakah Revolusi Payung ini merupakan repetisi dari “revolusi warna”, yang sempat diprediksi pada 2011 lalu di Tiongkok, kita masih perlu mempelajarinya lebih dalam.
Aleksey Isayev, Wakil Kepala Pusat Studi dan Prediksi Hubungan Tiongkok-Rusia dari Institut Far Eastern Russian Academy of Sciences (RAS).
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda