Perang Jalur Gaza dari Perspektif Imigran Rusia

Gaza setelah serangan Israel pada 8 Agustus 2014. Foto: Photoshot/Vostok Photo

Gaza setelah serangan Israel pada 8 Agustus 2014. Foto: Photoshot/Vostok Photo

Pada Minggu (10/8) malam, Hamas dan Tel Aviv menyepakati gencatan senjata selama 72 jam. Kedua pihak bersedia bertemu di meja negosiasi untuk menghentikan pertumpahan darah yang telah mengambil nyawa 1.900 warga Palestina dan 67 warga Israel tersebut. Namun, aktivitas militer berlanjut bahkan sebelum negosiasi berakhir. Kali ini, RBTH hendak memaparkan bagaimana perang telah mengubah penduduk Israel dan Jalur Gaza dan bagaimana wujud kehidupan mereka di luar sorotan kamera media.

Persepektif Warga Palestina

Lyudmila Al Farra, seorang dokter di salah satu rumah sakit di Jalur Gaza menyatakan hampir 60 persen penduduk Jalur Gaza adalah anak-anak dan remaja. “Oleh sebab itu, perang ini lebih berdampak pada mereka, bukan kami. Banyak anak-anak dan remaja yang terluka. Para orangtua harus melarang buah hati mereka keluar ke jalan karena selalu ada pesawat mata-mata Israel yang terbang di atas kepala,” kata Lyudmila.

Ia mencatat ada 250.000 orang yang terpaksa meninggalkan rumah karena tempat tinggal mereka telah sebagian atau sepenuhnya hancur. Menurut Lyudmila, desa-desa yang berbatasan dengan Israel hampir seluruhnya rata dengan tanah dan masyarakat pun pindah ke wilayah tengah Jalur Gaza untuk menyelamatkan diri.

“Pada operasi militer Israel tahap pertama, kami mendengar ledakan dan pesawat penghancur F-16 menembaki sasaran di darat yang bermil-mil jauhnya,” lanjut Al Farra. “Ini terasa seperti gempa bumi, seolah rumah kami akan runtuh. Selama operasi darat, pecahan peluru meriam artileri beterbangan ke arah rumah kami. Kami bahkan terpaksa meninggalkan rumah selama tiga hari,” tutur Al Farra.

Sang dokter bercerita warga Palestina tidak memiliki tempat tinggal, makanan, air layak minum, dan pakaian, namun ia tak akan menyerah begitu saja. “Kami akan terus bekerja dan tinggal di sini. Saya dokter, saya tidak bisa pergi begitu saja. Apalagi, perdamaian sepertinya akan tercapai tak lama lagi. Kita lihat saja apa yang akan terjadi,” ujar Al Farra.

Sisi Lain Perang

Sementara, Yulia Blekhman, lulusan Universitas Negeri Moskow jurusan Pemerintahan Negara yang pindah ke Israel setelah menyelesaikan kuliahnya di Moskow menyampaikan bahwa sejak tinggal di Israel ia belajar memahami makna ungkapan ‘berbanggalah dengan negara tempat tinggalmu’. “Di sini memang terjadi perang yang mengerikan dan menyita pikiran. Perang tersebut membuat kita merasa marah, geram, berang, ingin menangis, tapi tetap terus berharap sesuatu akan berubah. Dari awal perang ini sudah tak seimbang. Tapi saya tak bisa tak berbangga terhadap penduduk Israel,” kata Yulia.

Apa keinginan pihak-pihak yang bertikai?

Israel meminta penghentian peluncuran rudal dari Jalur Gaza dan demiliterisasi penuh. Sebaliknya, Hamas meminta Tel Aviv menghentikan pengepungan Gaza, membuka semua pos pemeriksaan perbatasan, mengizinkan warga untuk bepergian secara bebas, dan membuat koridor transportasi antara Gaza dan Tepi Barat (Yudea dan Samaria).

Selain itu, Hamas juga meminta penghilangan koridor keamanan yang dibangun Israel setelah Operation Enduring Force, restorasi Gaza, serta pengakuan atas pemerintah Otoritas Nasional Palestina di dalam Fatah dan Hamas.

Perempuan muda itu bercerita bagaimana warga dari semua penjuru negeri mengumpulkan persediaan dan perlengkapan penting bagi para prajurit yang berjuang di perbatasan Gaza. Mereka juga mendatangi rumah sakit untuk menengok prajurit yang terluka.

“Di perbatasan Gaza, para prajurit harus bertahan di bawah terpaan cuaca panas selama berminggu-minggu, makan makanan hambar, dan terus menunggu tanpa tahu apa yang akan terjadi di hari berikutnya. Masyarakat Israel kerap membawakan mereka makanan. Awalnya orangtua mereka yang membawakan makanan rumahan, lalu orang-orang yang tidak mereka kenal dari seantero negeri ikut melakukannya. Mereka membawa makanan dari restoran, pencuci mulut, dan rokok. Tidak ada perintah ‘dari atas’. Setiap individu memutuskan untuk membantu dan mendukung tentara atas inisiatif sendiri. Puluhan orang menulis surat dan merekam video terima kasih serta dukungan untuk prajurit-prajurit itu. Banyak juga yang mengunjungi para prajurit yang terluka di rumah sakit dan mendonorkan darah untuk mereka,” papar Yulia.

Yulia juga bertutur beberapa minggu lalu seorang prajurit yang keluarganya tinggal di luar negeri baru saja gugur di Gaza. Teman-teman korban menulis di Facebook bahwa orangtuanya tidak mungkin bisa mengejar pemakamannya dan mungkin tidak akan ada yang datang untuk mengantarkan sang prajurit yang telah mengorbankan nyawa demi negara ke tempat peristirahatan yang terakhir. Hasilnya, 30.000 orang datang ke pemakaman esok harinya, orang-orang yang bahkan tidak pernah bertemu dengan sang prajurit.

Hidup Terus Berlanjut

Direktur Pemasaran Modlin Sophia Samoilova yang tinggal di Tel Aviv mengatakan bahwa masyarakat Israel terbagi menjadi dua, yaitu kubu yang kecewa dan ingin pergi bahkan sebelum perang dan kini semakin ingin pergi, serta kubu yang mencintai Israel dan bahkan menunda liburan mereka untuk tetap berada di negara tersebut selama masa sulit. Lebih dari itu, persepsi atas perang bergantung pada tempat ia tinggal. Warga yang tinggal di bagian tengah atau utara Israel tidak terlalu merasakan dampak perang. “Di sana terdengar sirene beberapa kali, warga masuk ke tempat perlindungan bom, lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing,” cerita Samoilova.

Sementara, menurut Samoilova, warga Israel yang tinggal di selatan memiliki pengalaman yang sepenuhnya berbeda terkait perang. Mereka harus tidur di tempat-tempat perlindungan bom, setelah mengumpulkan anggota keluarga 15 detik sebelum sebuah selongsong musuh meledak di atas kepala mereka.

“Tentu konflik ini memengaruhi kehidupan kami sehari-hari,” terang Samoilova. “Tapi di Tel Aviv kami tidak terlalu merasakannya. Saya ingat ketika sirene berbunyi untuk pertama kali, saat itu saya sedang berada di pusat perbelanjaan. Orang-orang berlarian dengan panik. Jaringan internet dan ponsel mati. Lama-kelamaan orang-orang mulai terbiasa dengan semua itu. Namun di akhir pekan, kota yang hidup dan selalu ramai ini menjadi kosong," kata Samoilova.

Ia pun merasa dukungan datang dari segala penjuru. Minggu lalu Samiolova bertemu tiga orang Italia di sebuah bar yang sengaja datang ke Israel ketika perang untuk menunjukan pada teman-teman sebangsanya bahwa kehidupan di Israel terus berlanjut dan tidak seburuk yang digambarkan oleh media massa.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki