Tantangan Diplomasi Rusia Setelah Masa Perang Dingin

Ilustrasi oleh Tatiana Perelyguina.
Dalam pertemuan para duta besar Rusia baru-baru ini, Presiden Rusia Vladimir Putin membahas situasi dunia yang semakin tidak pasti. Tak ada negara yang menginginkan perang dunia kembali terjadi, apalagi tiap negara telah disibukan dengan krisis internal masing-masing. Namun, harus diakui hubungan internasional yang berlangsung di dunia saat ini memang cukup rumit.

Para politisi dan ahli politik dunia menyadari ada realita baru yang terbentuk dalam hubungan antarnegara saat ini. Berakhirnya perang dingin mengubah percaturan politik internasional, meski hal tersebut berlangsung secara perlahan. Krisis global yang sedang terjadi membuat tiap negara fokus menjaga stabilitas pertumbuhan dalam negeri masing-masing, terutama bidang sosial-ekonomi sebagai sumber daya politik eksternal yang krusial.

Di sisi lain, penjajahan telah terhapuskan dari muka bumi. Banyak negara yang telah menghirup kebebasan dan merdeka untuk menciptakan sejarahnya sendiri. Kebebasan itu menjamin deideologisasi (penghentian penyebaran ideologi) dalam hubungan internasional.

Dari segi pertumbuhan ekonomi dan kekuatan politik, kini muncul banyak poros yang membentuk kekuatan baru di suatu wilayah, tidak terpusat pada satu poros utama negara adidaya. Fenomena multipolaritas—poros kekuatan majemuk—telah terbentuk di luar batasan sempit “segitiga geopolitik” Rusia-AS-Tiongkok.

Kekuatan Militer

Sejarah mencatat semua negara adidaya pernah berperang satu sama lain, baik dalam Perang Dunia I maupun Perang Dunia II. Setelah perang berakhir, bukan berarti kekuatan militer tak lagi digunakan dalam hubungan internasional. Konflik antarnegara dalam dua dekade terakhir tidak mereda. Kekuatan militer masih digunakan untuk menghadapi dua macam situasi.

Pertama adalah situasi yang tergambar pada pemerintahan AS di masa kepemimpinan George Bush Junior, ketika AS melakukan invasi ke Irak yang jelas-jelas bertentangan dengan keinginan masyarakat dunia dan kepentingan nasional AS sendiri. Ini merupakan contoh penggunaan kekuatan militer untuk penghancuran diri suatu pemerintahan, bukan hanya dari posisinya di mata dunia, tetapi juga dalam pembangunan dalam negeri.

Kedua adalah penggunaan kekuatan militer akibat desakan situasi. Kekuatan militer digunakan untuk melindungi kepentingan nasional suatu negara yang jelas dan konkret, serta menjaga stabilitas negara tersebut, contohnya penggunaan kekuatan militer dalam krisis Kaukasus dan krisis Ukraina.

Isolasi Rusia

Krisis di Ukraina dan Kaukasus membuktikan bahwa penggunaan kekerasan dapat menghentikan agresi gerilya dan agresi negara “boneka” yang diikuti pergantian rezim pemerintah, meski itu bukan satu-satunya cara.

Beberapa negara hendak melakukan isolasi dan pengekangan terhadap Rusia dengan tujuan mengembalikan kekuatan politik Eropa dan Eropa-Atlantik. Namun, hal tersebut tidak berjalan mulus karena dunia kini bersifat multipolar, sehingga tidak semua negara bersedia mengisolasi Rusia. Tapi bagaimanapun, tindakan tersebut dapat memicu kerusakan serius dalam stabilitas suatu wilayah dan stabilitas negara-negara yang berada di dalamnya.

Isolasi tersebut menciptakan tendensi deglobalisasi dalam bidang politik dan ekonomi global. Sangatlah menarik mengamati bagaimana beberapa negara berusaha mendominasi dunia seperti zaman dulu dengan melakukan integrasi kekuatan baik dalam bidang politik maupun bidang lain, yang bertujuan melawan pihak yang lain dengan cara mengisolasi mereka yang dianggap sebagai musuh dalam geopolitik.

Geopolitik

Dunia mendukung integrasi ekonomi global di bawah naungan WTO (World Trade Organization), baik yang terjadi di Eurasia, Uni Eropa, maupun antara Eropa, Rusia dan negara-negara sekitar Rusia, termasuk Ukraina. Namun krisis Ukraina saat ini menunjukkan dampak dari politik yang berlawanan dengan tendensi global tersebut. Ukraina sebagai negara yang menjadi alat permainan geopolitik diguncang dan dihancurkan, diubah menjadi daerah geopolitik yang seakan-akan “dilindungi”. Peristiwa ini mengingatkan kembali akan era perang dingin. Akan tetapi dalam kasus ini negara sponsor tidak memiliki komitmen total maupun kesiapan sumber daya finansial untuk mengendalikan permainan tersebut hingga akhir. Ideologi imperatif perang dingin memiliki kemampuan dan komitmen tersebut. Sementara dalam krisis Ukraina, hal itu merupakan dilema karena tidak ada sumber daya ataupun keinginan politik yang bulat dari pihak yang terlibat.

Diplomasi yang Pragmatis

Kondisi saat ini mengharuskan Rusia untuk menjadi mandiri, mempercayai kekuatan diri sendiri, serta memegang prinsip pantang mundur dalam berpolitik, baik di Eropa maupun di seluruh dunia, dalam semua bidang. Politik tersebut dapat berupa diplomasi pragmatis dan multilateral yang memperhitungkan kepentingan nyata Rusia serta dorongan untuk bergabung dalam aliansi yang sejalan dengan Rusia.

Penulis merupakan Duta Besar Rusia untuk Inggris. Artikel ini merupakan versi pendek dari tulisan Yakovenko. Terjemahan bukan dari pihak resmi. Artikel asli dapat dibaca di Russia in Global Affairs.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki