Para pengamat menilai sikap pasif Rusia menimbulkan pertanyaan, apalagi setelah peristiwa di Suriah, banyak pemerintahan di Timur Tengah yang menunggu bantuan Rusia di wilayah tersebut. Seorang dosen senior di Sekolah Tinggi Ekonomi, Leonid Isaev menjelaskan, di Suriah, Rusia telah menunjukan pada negara-negara Timur Tengah bahwa ia siap melindungi rekannya sekaligus memperlihatkan kemampuannya untuk menghentikan invasi Amerika Serikat. Ternyata hal tersebut memiliki pengaruh besar, terutama terhadap Mesir, Yaman, Irak, dan Lebanon. “Euforia tindakan Rusia tersebut terus meningkat di seluruh negara Arab,” ujar Isaev.
Rusia mendukung penuh kepemimpinan Presiden Mesir yang baru, Jendral Abdul Fattah Al-Sisi. Berbeda dengan Barat, Rusia tidak menentang aksi penggulingan Presiden Muhammad Mursi. Rusia pun menjadi salah satu dari sejumlah kecil negara yang tidak memprotes keputusan hukuman mati massal bagi warga Mesir, yang hampir mencapai 1.000 orang. “Rusia percaya pada kebijaksanaan ribuan tahun masyarakat Mesir yang terkenal akan sejarah dan peradabannya itu mampu mengambil keputusan yang rasional tanpa bantuan dari pihak luar mengenai penentuan peran dan posisi mereka di masyarakat atau pun organisasi, salah satunya terkait Asosiasi Persaudaraan Muslim,” kata Menteri Luar Negeri Federasi Rusia Sergei Lavrov.
Niat baik Rusia tersebut dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, Moskow berhasil membangun hubungan kerja sama ekonomi yang baik dengan rezim Mesir yang baru. Pada Februari lalu, Rusia telah menandatangani kontrak pasokan senjata dan perlengkapan militer bagi Mesir senilai lebih dari tiga miliar dolar AS. “Kami memiliki kepentingan bersama dalam bidang senjata militer. Mesir ingin mengurangi ketergantungan persenjataan dan perlengkapan militernya terhadap AS,” ujar Wakil Ketua Program Agama, Masyarakat, dan Keamanan di Pusat Carnegie Moskow Aleksey Malashenko. Selain itu, Sisi memiliki tujuan tersendiri. Ia tergolong masih baru di ranah politik dan mencoba memanfaatkan dukungan Moskow untuk menjalankan kebijakan politik yang tidak tergantung pada para petinggi yang berorientasi pada Washington. Rusia sendiri melihat Sisi sebagai orang yang dapat diandalkan. Melalui Sisi, Rusia bisa mendapat dukungan dari dunia Arab, antara lain terkait krisis Suriah.
Kedua, rezim pemerintahan Mesir yang baru ini mendapat simpati dari Moskow atas kesiapan mereka memerangi kaum muslim radikal dan pernyataan Sisi tentang komitmennya terhadap prinsip naserizma (mengacu ke Gamal Abdul Nasser) modern. “Ideologi tersebut sejalan dengan Rusia. Selain itu, nama Gamal Abdul Nasser membawa momen nostalgia bagi para kaum elit Rusia, karena para generasi tua mengingat bagaimana hubungan mereka dengan Timur Tengah berada di titik puncak saat Nasser masih menjabat. Kesan itulah yang terdapat di Kremlin,” ujar Malashenko.
Hubungan baik dengan Presiden Al-Sisi juga dibutuhkan Moskow untuk mendapat akses ke Libya. Saat ini tentu tidak ada rencana strategis untuk menanggapi ideologi lama Jamahiriya. Libya sudah berhenti menjadi sebuah negara karena atomisasi (pemecahan bagian) pemerintah yang sangat mengkhawatirkan. Wilayah yang memiliki minyak yang dikelola oleh perusahaan Rusia kini diduduki oleh kaum radikal dan separatis muslim. “Situasi di sana tak akan membaik selama tidak ada pemimpin nasional yang kuat. Itu tidak menutup kemungkinan akan pemimpin yang pro-Mesir. Kini pengikut “Persaudaraan Muslim” berbondong-bondong dari Mesir menuju Libya dan berusaha mengumpulkan kekuatan mereka di sana. Dalam situasi ini kemungkinan Al-Sisi akan membantu memperbaiki keadaan di Libya,” kata Malshenko.
Rusia juga bersikap netral terkait situasi di wilayah Gaza. Keikutsertaan Rusia saat ini hanya sebatas persiapan evakuasi warga Rusia dari sana. Para pemimpin Palestina berulang kali meminta Rusia untuk setidaknya berbicara di tingkat Dewan Keamanan PBB, namun Rusia menolak permintaan tersebut. “Sampai sekarang Palestina masih menganggap Rusia, yang sebelumnya merupakan Uni Soviet, harus mendukung Palestina. Namun, Moskow mengubah sudut pandangnya. Putin sendiri mempunyai penilaian yang baik kepada Israel, karena Israel memiliki arti lebih besar bagi Rusia dibanding Palestina. Di Palestina pun ada banyak kubu: Hamas, nasionalis sekuler, dan Israel yang tidak akan pindah dari sana dengan alasan apa pun,” ujar Malashenko.
Sikap berdiam diri Moskow juga merupakan tindak lanjut dari kesepakatan antara Putin dan Mahmoud Abbas yang belum lama ini datang ke Rusia. “Pengeboman yang terjadi di Gaza sebenarnya lebih menguntungkan Fatah (Gerakan Nasional Pembebasan Palestina) dibanding Israel, karena sangat sulit untuk menemukan pihak yang lebih tertarik akan operasi pengeboman ini dibanding Fatah. Betul, Fatah dan Hamas sama-sama membentuk pemerintahan nasional kesatuan di Palestina, namun langkah tersebut hanya untuk mendapatkan apresiasi politik semata dari dunia Arab. Mahmoud Abbas tidak dapat secara terbuka menentang Hamas, masyarakat Palestina pun tidak dapat mengerti tujuan Mahmoud Abbas. Oleh sebab itu, ia pun tidak masalah menyingkirkan lawannya dengan bantuan Israel,” tambah Leonid Isaev.
Rusia tidak menyesali sikapnya. Moskow sendiri memiliki hubungan yang rumit dengan Hamas, terutama setelah para pemimpin Hamas menolak untuk mendukung Bassar Asad. Oleh sebab itu, Fatah adalah satu-satunya pihak yang diajak berunding dari Palestina .
Penulis
Gevorg Mirzayan, peneliti institusi Amerika dan Kanada dari Pusat Penelitian Russian Academy of Sciences.
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda