Rusia dan Presiden Baru Ukraina

Sebelum pemilihan presiden Ukraina berlangsung, ada indikasi Moskow akan menolak hasil pemilu tersebut. Rusia terus menekankan legitimasi Viktor Yanukovych, yang digulingkan setelah pertumpahan darah di Kiev.

Klik untuk memperbesar gambar. Ilustrasi oleh Alexei Iorsh.

Semua tindakan pemerintah sementara Kiev dianggap tidak sah, termasuk penyelenggaraan pemilu. Namun kemudian sikap Rusia mulai melunak. Meski Vladimir Putin belum mengucapkan selamat secara langsung pada Petro Poroshenko atas kemenangannya, Duta Besar Rusia Mikhail Zurabov, yang ditarik dari Kiev pada Februari lalu, kembali ke Ukraina untuk menghadiri upacara pelantikan Poroshenko. Zurabov memang bukan perwakilan tingkat tinggi, tetapi mengingat keadaan dan operasi militer yang masih berlanjut di Ukraina timur, langkah tersebut yang paling mungkin.

Apa yang Rusia harapkan dari presiden baru negara tetangga tersebut? Harapan Rusia terhadap Ukraina telah lama diuraikan dan tidak berubah, yakni menjadi sebuah negara yang terdesentralisasi, yang menjamin hak-hak budaya, bahasa, dan administrasi di wilayah timur dan tenggara negara tersebut, serta status netral Ukraina untuk tidak bergabung dengan seluruh struktur Eropa dan Euro-Atlantik. Selama dua bulan konflik militer terjadi di bagian timur Ukraina, jelas Moskow tidak tertarik untuk mengulang skenario Krimea di wilayah lain negara tersebut. Krimea merupakan kasus yang cukup unik, baik dari segi sejarah maupun sentimen masyarakat. Sejak Uni Soviet bubar, rakyat Rusia menganggap status Krimea sebagai bagian dari Ukraina merupakan sebuah kesalahan. Maka itu seluruh rakyat Rusia bersuka cita saat Krimea kembali bergabung dengan Rusia. Sementara untuk kasus Donbass, tidak pernah ada sentimen serupa, meski rakyat Rusia benar-benar bersimpati dengan penduduk lokal di sana.

Kini, muncul desas-desus Poroshenko  berencana menjalin kesepakatan rahasia dengan Kremlin. Sebagai pebisnis yang tahu bagaimana cara “menyelesaikan masalah”, ia mungkin akan mencoba melobi Moskow lewat retorika dan ideologi. Melihat situasi politik dalam negeri Ukraina, tentu saat ini hal tersebut tidak mudah dilakukan. Meski telah menerima mandat yang cukup meyakinkan, sang presiden tidak memiliki kekuatan politik yang dapat diandalkan. Belum lagi, dunia politik Ukraina dipenuhi intrik-intrik tak berujung, yang berkisar pada uang dan perubahan kekuasaan.

Moskow baru bersedia menjalin hubungan dengan Presiden Ukraina yang baru jika Kiev menghentikan operasi militer yang menindas pemberontak pro-Rusia di wilayah timur Ukraina. Poroshenko tidak memiliki wewenang untuk mengubah kondisi tersebut karena, secara formal, ia tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan otoritas interim. Sebelum terpilih menjadi presiden, Poroshenko memang mengutuk tindak kekerasan tersebut. Namun, bisa saja ia mengambil sikap yang berbeda setelah memegang jabatan sebagai presiden.

Tidak akan ada tawar-menawar mengenai Krimea, dan Poroshenko bersumpah akan merebut kembali wilayah tersebut. Sedangkan Rusia tidak akan membahas masalah kepemilikan Krimea, dalam keadaan apa pun. Jika Rusia dan Ukraina mengadakan dialog, kedua negara tersebut bisa jadi akan membicarakan beragam hal teknis seperti kompensasi, masalah kepemilikan, dan lain-lain. Tapi itu bukanlah topik yang baik untuk memulai interaksi, mengingat tingkat saling percaya yang sangat rendah saat ini.

Rusia sama sekali tidak berniat mengakui “republik rakyat” di Ukraina timur, tetapi karena alasan moral dan politik yang jelas, Rusia tidak bisa begitu saja mengabaikan mereka. Moskow berharap perlawanan aktivis pro-Rusia terhadap pihak berwenang Kiev dapat berubah menjadi kekuatan politik yang serius di Ukraina. Hal itu seharusnya juga menarik perhatian Poroshenko, karena ia harus menetapkan dengan siapa dialog dapat dilakukan.

Topik utama yang dapat memaksa kedua belah pihak melakukan dialog adalah resolusi perselisihan tentang gas, masalah utang, transit, dan harga gas di masa mendatang. Tampaknya Rusia siap untuk bersikap lebih fleksibel dari sebelumnya, karena menyadari bahwa perang gas dapat mengakibatkan kerusakan serius pada Gazprom. Namun, pertama-tama Ukraina harus membayar utang lama mereka yang masih menjadi masalah. Ada kemungkinan Eropa bersedia bernegosiasi dengan Rusia karena tak mau menghadapi risiko gangguan pasokan gas. Jalan keluar dari kebuntuan terkait gas tentu dapat menciptakan momentum positif.

Moskow tetap skeptis terhadap prospek Ukraina di bawah kepemimpinan siapa pun, karena gejolak politik belum menghasilkan perubahan elit politik di sana dan kualitas para elit tersebut sudah diketahui umum. Namun, di luar sikap yang sangat negatif terhadap peristiwa di Maidan dan kudeta pada Februari lalu, tampaknya Rusia ingin menstabilkan hubungan dengan Ukraina. Mengakhiri perang saudara di timur adalah syarat utama untuk mengembalikan stabilitas di Ukraina. Kini, semua tergantung pada langkah pertama Petro Poroshenko dalam mengatur arah gerakan lebih lanjut.

Penulis

Fyodor Lukyanov, Ketua Dewan Pengurus Badan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan dan Pemimpin Redaksi jurnal Russia in Global Affairs.

Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.

Artikel Terkait

Poroshenko: Krimea Akan Selalu Menjadi Milik Ukraina

Presiden Baru Ukraina Berharap Masyarakat Dunia Dukung Krimea

Putin: Rusia Siap Akui Pemilu Ukraina

Skenario Rusia untuk Ukraina Setelah ‘Revolusi’

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki