Abkhazia akan memilih presiden keempatnya pada Agustus mendatang. Foto: RIA Novosti
Pada akhir Mei lalu, Republik Laut Hitam yang kedaulatannya baru diakui secara terbatas tersebut mengalami krisis. Dewan Koordinasi—yang dibentuk setahun lalu sebagai tanda persatuan 11 pemimpin berbagai partai dan gerakan—menyelenggarakan pertemuan nasional untuk mencari solusi krisis. Ankvab yang baru menjabat sebagai presiden republik tersebut selama kurang dari tiga tahun, resmi mengumumkan pengunduran dirinya dalam pertemuan tersebut. Padahal, masa jabatan Ankab seharusnya berlangsung selama lima tahun.
Ankvab adalah pemimpin yang keras di perang Georgia-Abkhazia terakhir. Ia berhasil selamat dari enam upaya pembunuhan di masa damai, dan dijuluki sebagai “Besi”. Ia bukan orang yang mundur dengan mudah, sehingga kemenangan pihak oposisi atas Ankab tidak diraih begitu saja. Saat para pendukung oposisi mendatangi gedung administrasi kepresidenan, Ankvab bereaksi dengan gaya khasnya. Ia menghentikan pembicaraan dengan pihak lawan dan meninggalkan Sukhumi dengan segera. Beberapa jam kemudian, ia berpidato melalui televisi kepada masyarakat. Dalam pidato tersebut ia menyebut situasi ini sebagai upaya perebutan kekuasaan dan menyarankan oposisi untuk kembali ke jalan hukum. Ketika itulah Moskow turun tangan.
Meski mengakui kedaulatan Abkhazia, Rusia juga menyatakan diri sebagai penjamin kedamaian dan keamanan dalam republik itu, serta menyediakan tiga perempat anggaran Abkhazia. Rusia jelas tidak dapat mengabaikan peristiwa ini. Situasi yang terjadi di Abkhazia dipicu oleh krisis Ukraina, yang membuat Rusia meningkatkan perhatian terhadap apa yang terjadi di dekat perbatasannya. Pembantu Presiden Rusia Vladislav Surkov kemudian datang untuk mencari jalan keluar atas situasi di Abkhazia.
Kedatangan Surkov di Sukhumi disambut dengan baik. Namun, situasi menemui jalan buntu karena partai-partai menolak bernegosiasi, ketegangan meningkat, dan sejumlah besar pendukung Presiden Ankvab “berkemah” sangat dekat dengan lokasi pertemuan nasional, meski tidak membantu melunakkan oposisi.
Surkov harus mendatangi Sukhumi—tempat pihak oposisi berada, dan Gudauta—tempat Ankvab mengungsi. Diplomasi yang melelahkan itu membuahkan resolusi damai untuk konflik tersebut. Pada Minggu (1/6), Ankvab “Si Besi” mengundurkan diri.
Ilmuwan politik dari Abkhazia Inal Khashig berpendapat bahwa Surkov telah memilih jalur pragmatis. Tugas utama Surkhov adalah memahami kekuatan eksternal mana yang mungkin mengendalikan atau berdiri di belakang kejadian di Abkhazia, dan apakah mereka benar-benar melakukan itu. “Tidak ada kekuatan semacam itu,” lanjut Khashig. “Semua elit politik Abkhazia berorientasi ke arah Moskow. Dalam situasi ini, ketika nasib Abkhazia amat sangat bergantung kepada Rusia, mulai dari keamanan sampai dukungan keuangan yang tidak dapat dilepaskan oleh negara ini, tidak ada jalan lain. Abkhazia tidak memiliki kekuatan pro-Barat, pro-Amerika, atau bahkan ‘pro’ apa pun, kecuali kekuatan pro-Rusia.”
Setelah memastikan bahwa republik dan seluruh elit politik Abkhazia lebih loyal kepada Moskow, Surkov menyadari bahwa tidak ada alasan lagi untuk mendukung Ankvab, yang mulai kehilangan pengaruh. Pada akhirnya, siapa pun yang menggantikan Ankvab tidak akan mengubah orientasi Abkhazia yang pro-Rusia.
Gagal Penuhi Ekspektasi
Kejadian yang menimpa presiden ketiga Abkhazia sekali lagi menunjukkan bahwa perbedaan antara penerimaan dan penolakan masyarakat sangatlah tipis. Seorang politikus yang berprinsip tegas dan seorang pemimpin badan keamanan yang baik ternyata adalah pengelola negara yang buruk. Lawan-lawannya menyalahkan Ankvab karena dalam dua tahun kepemimpinannya, republik telah jatuh dalam ketergantungan keuangan yang absolut terhadap Rusia, dan bantuan ekonomi Rusia telah dihabiskan secara sia-sia.
Khashig juga menyatakan bahwa tidak adanya gagasan nasional yang terbentuk selama masa jabatan Ankvab juga memicu tekanan dari pihak oposisi. Presiden pertama Abkhazia Vladislav Ardzinba, memenangkan perang kemerdekaan melawan Georgia. Selama masa kekuasaan presiden kedua, Sergey Bagapsh, kedaulatan republik itu diakui oleh Rusia dan beberapa negara lain. Krisis dimulai sejak lama, tetapi sekarang ada persimpangan jalan yang harus mereka hadapi. “Selama bertahun-tahun kondisi Abkhazia tidak berubah, tetapi hanya perlu beberapa hari saja untuk membalikan keadaan,” ujar Khashig.
Abkhazia akan memilih presiden keempatnya pada Agustus mendatang. Sejauh ini, belum ada politikus yang telah menyatakan keinginan untuk menjadi pemimpin republik tersebut. Namun melihat aktivitas di hari-hari pelengseran Ankvab, dapat diasumsikan bahwa calon presiden yang kuat adalah mantan Wakil Presiden Raul Khajimba dan mantan Perdana Menteri Sergei Shamba.
Pemenang pemilu kelak harus mereformasi institusi pemerintah dan mendistribusikan kembali kekuasaan pada cabang-cabang pemerintah untuk memastikan pemerintahan yang efektif dan mendukung reformasi ekonomi, karena Abkhazia telah lelah menggantungkan keuangannya sepenuhnya kepada Rusia.
Poroshenko Akan Mengajukan Masalah Krimea ke Pengadilan Internasional
Perang Media Barat dan Rusia Lewat Pemilihan Diksi
Rusia Ciptakan Daerah Rendah Pajak di Krimea
Barter Minyak-Barang Iran-Rusia Hanya Angan Belaka
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda