Alexander Grushko, perwakilan resmi Rusia untuk NATO, mengatakan bahwa NATO harus bertanggung jawab atas memanasnya situasi dan kegagalan proses politik. Foto: AP
Moskow mengusulkan pertemuan darurat NRC untuk membahas situasi di Ukraina, segera setelah tragedi Odessa pecah. Namun, kedua pihak sulit menyepakati tanggal pertemuan. Rusia ingin bertemu sedini mungkin, sementara NATO hanya mau pertemuan diadakan pada Selasa (27/5).
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menjelaskan bahwa Rusia sudah berusaha merancang pertemuan selama lebih dari sebulan. “Selama hampir satu bulan setelah tragedi Odessa, kami menuntut diselenggarakannya NRC agar kita bisa membongkar bagaimana hal itu bisa terjadi. Tetapi para anggota NATO menolak ajakan tersebut. Anehnya, tiba-tiba mereka dengan murah hati menyetujui dan mengatakan siap bertemu, tetapi harus tanggal 27 Mei. Kami rasa hal itu dirancang untuk melegitimasi pemilu Ukraina yang diselenggarakan pada 25 Mei,” ujar Lavrov. Tak heran, Moskow pun enggan melakukan pertemuan tersebut.
Meski demikian, pertemuan duta besar dari 29 negara yang terdiri dari semua anggota NATO ditambah Rusia, tetap diadakan. Alexander Grushko, perwakilan resmi Rusia untuk NATO yang menghadiri pertemuan tersebut menjelaskan bahwa pertemuan itu pada intinya membahas situasi keamanan di Ukraina. “Sebuah perang sedang berkecamuk di perbatasan Rusia, dan kami harus memanfaatkan segala kesempatan untuk mengakhiri kekerasan, serta mencapai negosiasi dengan damai. Kami meminta anggota dewan menuntut pihak berwenang di Kiev agar segera menghentikan operasi militer mereka di Ukraina tenggara dan mulai menerapkan Kesepakatan Jenewa yang telah ditandatangani pada 17 April lalu,” ujar Grushko.
Hal ini, menurut pendapat Grushko, dapat menghentikan operasi khusus pasukan keamanan Ukraina, yang telah menyebabkan puluhan orang tewas dan luka-luka. Setelah ini, bisa diadakan dialog nasional yang sesungguhnya di Ukraina dan kesepakatan mengenai reformasi konstitusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
“Kami mengingatkan para anggota NRC bahwa pada Februari lalu NATO mendesak pemerintah Ukraina untuk menghentikan kekerasan segera, dan menekankan bahwa intervensi militer dalam proses politik tidak dapat diterima,” lanjut Grushko. “Mereka harus kembali menyatakan hal serupa sekarang.”
Grushko menggarisbawahi fakta bahwa NATO telah memberi bantuan teknis untuk Kiev sehingga mendorong pihak berwenang baru Ukraina untuk melanjutkan penggunaan kekerasan dalam menghadapi krisis. Menurut Grushko, NATO harus bertanggung jawab atas memanasnya situasi dan kegagalan proses politik.
Rusia pun melihat NATO melakukan kegiatan yang tak wajar di dekat perbatasan Rusia. “Aktivitas itu tidak wajar dan berlebihan. Tindakan NATO melemahkan stabilitas dan keamanan wilayah Euro-Atlantik. Unjuk otot militer dan seruan untuk meningkatkan belanja militer tentu merupakan tindakan yang kontraproduktif, yang akan mengarahkan pada kebuntuan hubungan,” terang Grushko.
Grushko mengingatkan rekan-rekannya di NRC bahwa jika NATO menempatkan pasukan tempur tambahan substansial di Eropa Tengah dan Timur, hal itu akan dianggap sebagai pelanggaran kewajiban berdasarkan perjanjian dasar dengan Rusia. Dalam kasus ini, Rusia bisa jadi menarik diri dari Founding Act Rusia-NATO.
“Dalam urusan militer, seperti sudah diketahui, potensilah yang diperhitungkan, bukan niat. Niat, sebagaimana telah ditunjukkan oleh peristiwa baru-baru ini, dapat berubah. Oleh karena itu, jika kita melihat NATO menggeser potensi militernya ke sayap timur, maka kami akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa Rusia tidak terancam,” kata Grushko.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda