Rusia Berharap Indonesia Tentukan Posisinya dengan Bijak

Duta Besar Federasi Rusia Mikhail Y. Galuzin (kiri) dan Duta Besar Amerika Serikat Robert Blake Jr. tampak akrab dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Departemen Kewilayahan dan Program Studi Sastra Rusia UI, Selasa, 29 April 2014. Foto: Tasya Nandynanti Demautami/FIB UI

Duta Besar Federasi Rusia Mikhail Y. Galuzin (kiri) dan Duta Besar Amerika Serikat Robert Blake Jr. tampak akrab dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Departemen Kewilayahan dan Program Studi Sastra Rusia UI, Selasa, 29 April 2014. Foto: Tasya Nandynanti Demautami/FIB UI

Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia Mikhail Y. Galuzin bertemu dengan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Robert Blake Jr. hari ini, 29 April 2014, dalam sebuah diskusi ilmiah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Kedua perwakilan diplomatik dari dua negara yang hubungannya sedang menegang beberapa bulan terakhir ini bertemu dalam diskusi yang bertemakan "Krisis Ukrania dan Pengaruhnya di Asia Tenggara." RBTH Indonesia berkesempatan untuk mewawancarai Duta Besar Federasi Rusia Mikhail Y. Galuzin setelah berakhirnya acara yang diselenggarakan oleh Departemen Kewilayahan dan Program Studi Sastra Rusia UI.

T: Bagaimana menurut Anda mengenai acara yang membahas krisis di Ukraina ini dan sekaligus mempertemukan pihak Rusia dan AS?

J: Saya sangat senang dan mengapresiasi dengan diadakannya acara ini di Universitas Indonesia. Kesempatan diskusi ini sangat penting, khususnya bagi para mahasiswa karena mereka bisa mendengar langsung posisi Rusia terkait isu internasional ini dari pejabat Rusia.

Selama ini, kita kerap mendengar pemberitaan mengenai Rusia yang bias dan tidak berimbang. Mereka mengkritik kebijakan Rusia terkait krisis di Ukraina, tapi mereka tidak benar-benar paham inti masalahnya. AS dan Barat menerapkan standar ganda dalam berbagai pemberitaan di media. Mereka mengatakan bahwa Rusia telah mengambil wilayah Semenanjung Krimea. Padahal, yang terjadi tidaklah demikian.

T: Apa pendapat Anda terkait sanksi yang diberikan kepada Rusia?

J:Sanksi terhadap Rusia sangatlah menjijikkan. Barat dan AS merasa bahwa mereka lebih paham soal perdamaian; mereka merasa sebagai polisi dunia. Selain itu, mereka juga kerap merasa lebih toleran dari yang lain dan merasa lebih mengerti soal keadilan.

Memutuskan hubungan ekonomi dengan Rusia bukanlah hal yang bijak. Mereka lupa bahwa bagaimana pun kita saling bergantung dan membutuhkan satu sama lain.

T: Dalam diskusi tadi, sempat dibahas mengenai peran Indonesia dalam menanggapi krisis yang terjadi di Indonesia. Menurut Anda, bagaimana Indonesia seharusnya menyikapi ini?

J: Saya tidak bisa dan tidak mau mengharapkan apa-apa dari Indonesia. Hanya saja, saya berharap, dari lubuk hati yang paling dalam, semoga Indonesia bisa menentukan posisinya dengan bijak.

Saya menghargai pernyataan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang beliau sampaikan bulan lalu. Beliau mengatakan bahwa Indonesia berpedoman pada prinsip penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah sebagai dasar hubungan antarbangsa. Ini adalah posisi yang  dipegang teguh oleh Indonesia dalam menghadapi berbagai situasi serupa di berbagai kawasan.

Rusia Mengimbau Masyarakat Baca Berbagai Sumber Media

Diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut juga menghadirkan Staf Ahli Kedutaan Besar Federasi Rusia Oleg Kopylov dan Staf Ahli Kedutaan Besar AS Casey Mace. Keduanya berdiskusi dalam sesi diskusi panel setelah kedua duta besar selesai menyampaikan argumentasinya terkait krisis Ukraina dari perspektif kedua negara besar ini. Diskusi panel ini juga turut menghadirkan A. Fahrurodji selaku Koordinator Program Studi Rusia FIB UI.

Staf Ahli Kedutaan Besar Federasi Rusia Oleg Kopylov (kedua dari kiri), Staf Ahli Kedutaan Besar AS Casey Mace (kedua dari kanan), dan Koordinator Program Studi Rusia FIB UI A. Fahrurodji dalam sesi diskusi panel. Foto: Tasya Nandynanti Demautami/FIB UI

Dalam kesempatan diskusi panel tersebut, Oleg Kopylov menekankan pentingnya  untuk mendapatkan informasi tidak hanya dari satu sumber media, khususnya jika media tersebut adalah media Barat. "Jangan hanya membaca sumber media Barat karena pemberitaan media Barat sangat bias. Anda harus menginvestigasi dan menganalisis isu ini dari berbagai sumber untuk mengetahui kebenarannya,” kata Kopylov.

Diskusi berlangsung dengan berbagai pertanyaan dari para peserta yang mayoritas menanyakan mengenai referendum di Krimea dan alasan AS yang tidak mengakui hasil referendum. Menurut Mace, referendum di Krimea mencederai konstitusi Ukraina. Pemerintah Ukraina sama sekali tidak dilibatkan dalam keputusan ini dan itu adalah sebuah kesalahan. Menanggapi hal ini, Kopylov menjelaskan bahwa referendum di Krimea adalah keinginan rakyat Krimea. Lebih dari 90% rakyat Krimea memilih untuk bergabung dengan Rusia. Referendum berjalan dengan baik dan demokratis. Tidak ada pertumpahan darah dalam pelaksanaan referendum.

Ketika ditanya soal peran Indonesia bagi Rusia dan AS dalam menanggapi krisis Ukraina, kedua kubu sepakat bahwa Indonesia adalah model negara demokrasi yang sangat baik. “Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Ketika Indonesia berbicara, dunia mendengar; AS mendengar,” jelas Mace. Senada dengan Mace, Kopylov juga mengatakan hal serupa dan menambahkan bahwa Indonesia adalah negara yang terdiri atas beragam etnis dan agama, sama seperti di Rusia. Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan. Selain itu, Indonesia dan Rusia memiliki visi masa depan yang sama di Asia Pasifik, khususnya mengenai keamanan nasional.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki