Pembonan di Volgograd menyebabkan 6 orang tewas dan 36 terluka. Sumber: RIA Novosti
Serangan teroris di Volgograd, Rusia selatan, dilakukan oleh seorang teroris yang sudah berada di bawah pengawasan dinas keamanan selama beberapa waktu. Menurut kerabat wanita teroris ini, ia telah menderita penyakit parah dan benar-benar menjadi fanatik terhadap agama. Perwakilan dari lembaga penegak hukum mengatakan bahwa teroris masa kini kebanyakan orang-orang muda, yang bahkan sama sekali tidak bertampang penjahat dan direkrut melalui Internet.
Komite Investigasi Rusia dan polisi terus menyelidiki pemboman bus di Volgograd pada Selasa lalu. Menurut Vladimir Markin, perwakilan resmi dari Komite Investigasi, hingga kemarin penyelidik telah menanyai 50 saksi dari aksi terorisme tersebut.
Telah ditetapkan bahwa terduga teroris, Naida Asiyalova, datang ke Volgograd dari Makhachkala dengan bus biasa menuju Moskow. Untuk alasan yang belum diketahui, wanita ini turun dari bus di dekat Akademi MIA di Volgograd, sekitar satu jam sebelum ledakan terjadi.
Sejauh ini, para ahli mengatakan bahwa kekuatan ledakan itu tidak sebesar yang dilaporkan media massa -- sekitar 500-600 gram setara trinitrotoluol, sedangkan bom itu diisi baut-baut. Informasi ini belumlah final.
Petugas penyidikan telah memastikan bahwa Asiyalova membeli tiket bus ke Moskow yang melewati Volgograd. Setelah bus itu hampir meninggalkan Volgograd, untuk alasan tertentu dia memutuskan untuk turun dari bus dan kembali ke pusat kota Volgograd. Belum diketahui apakah hal ini direncanakan atau apakah Asiyalova mengubah rencananya.
Menurut sumber di satuan tugas khusus, ada kemungkinan bahwa terduga pembom Naida Asiyalova memperoleh bom peledaknya di Volgograd, bukan di Makhachkala. Akan terlalu berisiko untuk membawa bom ini jauh-jauh dari Makhachkala mengingat bom dapat terdeteksi selama pemeriksaan badan ketika ia naik ke dalam bus. Pemeriksaan sepert ini sangat umum di Makhachkala dan telah sejak lama diterapkan di sana.
Sepengetahuan kami, Asiyalova dan komplotannya telah sejak lama berada di bawah radar satuan tugas khusus Rusia. Ada informasi bahwa nasib wanita ini sudah ditentukan -- entah ditangkap atau dibunuh – tak lama lagi; kalau tidak dalam hitungan jam, maka dalam beberapa hari. Asiyalova tahu bahwa ia sedang diburu, jadi dia tidak pernah tinggal di tempat yang sama terlalu lama.
Satuan tugas khusus mengatakan bahwa kelompok-kelompok kriminal benar-benar telah mengalami kekurangan anggota selama beberapa tahun terakhir. Semua kaki-tangannya telah terbunuh atau mendekam di penjara. Inilah sebabnya "pejuang agama" modern terdiri dari mahasiswa dan kadang-kadang bahkan kalangan akademis. Kebanyakan dari mereka direkrut melalui Internet.
Informasi bahwa pembom bunuh diri yang meledakkan bus di Volgograd berasal dari kampung halaman mereka mengejutkan 2.500 warga yang bermukim di desa kecil di pegunungan Guniba, Dagestan, Rusia Selatan.
"Saya telah cukup lama mengenal keluarga ini," kata tetangga keluarga Asiyalov, Patimat Nazhmudinova, editor sebuah koran lokal. "Rumah mereka agak kecil. Ravzat Asiyalova, ibu si teroris, hidup sendirian sejak putri-putrinya pindah dari desa. Dia memang bekerja -- sebagai tukang pos. Naida tinggal di sebuah panti asuhan sampai usianya 5 tahun. Tak ada yang tahu bahwa Ravzat telah melahirkan dan menyerahkan anaknya itu untuk diadopsi. Ketika panti asuhan itu ditutup pada tahun 80-an, kakeknya menerima surat yang menyatakan bahwa ia memiliki seorang cucu yang masih kecil -- maka ia membawa pulang Naida ke rumahnya."
Naida telah lama meninggalkan kampung halamannya. Dulunya dia tidak benar-benar religius - semua ini berawal hanya sejak tiga tahun yang lalu. Di desa Dagestan sebagian besar penduduknya memang religius, tetapi mereka tidak memaksakan keyakinan mereka pada siapa pun; mereka tidak menyuruh orang lain untuk mempercayai suatu keyakinan dan bagaimana beribadah. Adapun Naida, dia melakukan hal yang sebaliknya. Pada akhirnya, ayahnya secara terang-terangan berpaling darinya. "Kemudian ibunya pergi ke Moskow untuk menghadiri pernikahannya. Dia sangat bangga karena suami Naida adalah pria baik-baik, seorang Turki," cerita si tetangga. “Naida memiliki masalah dengan kesehatannya. Suaminya dari Turki itu mengeluarkan banyak biaya untuk perawatan giginya.”
Entah berasal dari ruang praktik dokter gigi atau di tempat lain, Naida justru terkena infeksi parah - gigi barunya mulai sakit. Mahkota giginya harus dicabut karena infeksi yang serius. Bahkan ada yang menyebut dia terkena sarkoma, suatu penyakit yang membuat tulang membusuk. Tak lama setelah itu suaminya mengajukan cerai. Naida tidak punya uang untuk pengobatan ataupun sekadar bertahan hidup. Dia mencoba untuk mengumpulkan uang melalui jejaring sosial. Para tetangga berpikir bahwa mungkin para penjahat mendeteksi keputus-asaannya dalam jejaring sosial dan membantu pengobatannya sekaligus merekrut wanita ini.
Di kalangan kaum pejuang, Asiyalova menggunakan nama Islam kedua -- Amaturakhman. Suami keduanya, seorang Rusia, adalah seorang penjahat yang dikenal dengan julukan "Giraffe (Jerapah)".
Naida bertemu suaminya yang kedua, Dmitri Sokolov, di Rusia ketika mempelajari bahasa Arab. Dmitri masuk Islam dan menjadi anggota geng kriminal Makhachkala yang cukup aktif, bekerja sebagai teknisi bom. Lembaga penegak hukum mengatakan bahwa dialah yang membuat bom yang digunakan pada pemboman toko di Makhachkala.
"Sokolov, yang menggunakan nama 'Abdul Jabbar', adalah anggota geng kriminal Makhachkala. Dia membuat sabuk bunuh diri yang digunakan teroris Madina Aliyeva di pusat Makhachkala. Dalam pemboman ini satu orang tewas dan 15 orang luka-luka," kata seorang sumber di badan keamanan Dagestan.
Kisah di Balik Jihad Seorang Muslim
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda