Pemimpin Barat lain juga khawatir, namun cenderung samar-samar, tak ada seorang pun yang tahu apa yang harus dilakukan di zona krisis. Kini, ada dua kubu yang berseberangan: mereka yang melawan pasukan Rusia terlibat dalam konflik dan mereka yang berpikir tentara Rusia hanya akan melakukan apa yang tidak dicapai oleh serangan udara Barat yang sia-sia belaka.
Jika kita mengesampingkan prakonsepsi ideologi yang mewarnai pandangan terhadap Rusia, kita dapat mengerti mengapa tak ada garis depan yang bersatu melawan ISIS, padahal semua pihak sadar betul pendekatan itu sangat dibutuhkan.
Terdapat perbedaan yang tersirat maupun terang-terangan. Pertama, ISIS dilihat sebagai kelompok teroris dan semua orang bicara mengenai kampanye antiteroris. Namun, itu bukan definisi yang tepat. Masalah ini dapat ditelusuri dari awal tahun 2000-an, ketika perang melawan terorisme yang dideklarasikan oleh pemerintahan George W. Bush memicu kekacauan yang memuncak saat ini.
Selain itu, bahkan jika dunia ini sedang dikonfrontasi oleh terorisme, ISIS merepresentasikan tipe dan level baru terorisme. Para Islam radikal yang dikepalai oleh Abu Bakr al-Baghdadi merebut dan menghancurkan struktur institusi Timur Tengah, bertujuan membangun kembali tidak hanya tatanan ideologi, tapi juga tatanan nasional dan politik yang baru.
ISIS harus dilawan dengan langkah serius menggunakan persenjataan paling modern yang dimiliki oleh tiap-tiap negara. Barat masih melihat ISIS melalui konsep ‘memerangi terorisme’, sementara Rusia memilih mengambil langkah yang biasanya dilakukan dalam perang antarnegara
Ide mengenai masa depan Suriah juga tak sejalan. Obsesi Barat terhadap Assad berkaitan dengan pertanyaan siapa yang akan memimpin Suriah setelah konflik berakhir. Di sini, makna sesungguhnya dari pembicaraan mengenai pemberian kewenangan bagi oposisi, pembaharuan proses Jenewa, dan lain-lain, menjadi fokus utama.
Rusia mendukung proses di Jenewa dan Moskow, meski dengan agenda tersendiri, namun kini yakin bahwa tantangan yang dihadapi jauh lebih akut. Masalahnya adalah apa yang akan terjadi pada Suriah yang sebelumnya. Negara tersebut saat ini terbagi ke dalam beberapa zona kontrol dan sulit membayangkan mengembalikan semua seperti sebelumnya. Kini pertanyaannya adalah: apakah mungkin menggali lebih dalam guna menghentikan ISIS?
Jelas bahwa isu kekuatan dalam sistem yang telah direformasi, atau apa pun sebutannya di masa mendatang, akan menciptakan masalah. Pembagian kekuasaan tentu akan dilakukan, namun pertama penting untuk memahami apa yang akan tersisa.
Untuk saat ini, Moskow berpikir bahwa koalisi dalam kondisi serangan eksternal masif adalah hal yang baik saat berbagai pasukan, yang mengesampingkan perbedaan mereka, bersatu untuk melawan musuh bersama. Ini bukan kasus di Suriah. Baik pemerintah maupun pihak oposisi sama-sama keras kepala. Dan menggunakan militer untuk memaksakan kerja sama dalam situasi seperti ini (secara teoritis pemain eksternal dapat melakukan hal ini) berarti menghukum koalisi atas kegagalan yang jelas: pemberian takhta bagi ISIS di Damaskus.
Jadi, melihat berbagai perbedaan yang sudah disebutkan, apakah mungkin para pemain utama bisa mencapai kesepakatan untuk melakukan aksi gabungan di Suriah? Aliran pengungsi ke Eropa dan ketidakmampuan untuk berbuat apa-apa dengan cepat mengubah gairah masyarakat di Dunia Lama. Kini gairah tersebut didominasi oleh opini bahwa, untuk menghentikan situasi, Eropa harus melakukan segala hal yang mungkin dan tidak di wilayahnya.
Posisi Amerika ditentukan oleh beragam motif yang saling tumpang-tindih, namun secara umum tak lagi monolitis. Pernyataan publik dan realita tak selalu sama, sementara oposisi Moskow itu bertindak bukan karena ingin melenyapkan Assad, namun karena takut Rusia akan memperkuat posisinya di wilayah tersebut. Namun, ini adalah isu mengenai keseimbangan kepentingan yang rasional, yang selalu lebih mudah diselesaikan (meski masih terbilang sangat sulit) dibanding ketika situasi berkaitan dengan preferensi ideologi.
Jelas bahwa dengan mengusung kampanye anti-ISIS dan lebih banyak terlibat dalam intrik Timur Tengah, Rusia mengambil risiko. Selain ancaman materi dan, lebih penting lagi, korban jiwa (yang tak bisa disangkal, khususnya mengingat musuh tak manusiawi yang dihadapi), selalu ada keraguan untuk mencapai tujuan. Tak ada jaminan sukses, khususnya dalam situasi kompleks ketika semua pihak melawan beberapa musuh sekaligus, dan sekutu saling menusuk satu sama lain dari belakang. Opini publik Rusia harus menyiapkan dirinya sendiri untuk beragam skenario.
Perlu disadari juga bahwa keputusan Rusia untuk berpartisipasi lebih aktif dalam pertempuran Suriah dilakukan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Dalam politik internasional, aksi lebih penting daripada sekadar kritik.
Meski aksi ini memberi poin dan meningkatkan status, oposisi selalu ada. Namun, tanpa risiko tak ada ‘Permainan Besar’.
Penulis merupakan Kepala Presidium Dewan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Rusia.
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia di RG.ru
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda