AS mengkhawatirkan kemampuan militer Rusia.
Ramil Sitdikov/RIA NovostiKomando Strategis AS (STRATCOM) beserta komunitas intelijen tengah mengkaji kemampuan pertahanan Rusia dan Tiongkok jika terjadi serangan nuklir, demikian dilaporkanBloomberg.
Laporan tersebut menyebutkan, penelitian ini dilakukan atas permintaan Kongres dan telah dimulai sebelum Donald Trump resmi menjabat sebagai presiden AS. Inisiatif ini didukung oleh perwakilan dua partai besar AS, Republik dan Demokrat. Anggota Kongres menyatakan ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah Rusia. Selain itu, Kongres juga merasa khawatiran dengan meningkatnya kekuatan militer Tiongkok.
Sebagaimana yang dipublikasikan Bloomberg, Direktorat Intelijen Nasional AS dan STRATCOM tengah mempelajari kemampuan pertahanan Rusia dan Tiongkok jika kedua negara tersebut diserang nuklir. Penelitian ini mencakup lokasi dan gambaran jaringan komunikasi bawah tanah yang ‘mewakili kepentingan politik dan militer negara’.
Sebelumnya, Donald Trump pernah mengatakan (dalam wawancara pertamanya setelah terpilih sebagai presiden AS) bahwa pembatalan sanksi anti-Rusia kemungkinan dapat melancarkan kesepakatan bilateral terkait pengurangan senjata nuklir. Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Kepresidenan Rusia Dmitry Peskov mengatakan bahwa hal semacam iu sama sekali tak memungkinkan dari sudut pandang ahli.
Pada April 2010 lalu, Rusia dan AS menandatangani perjanjian perlucutan senjata nuklir (START-3) yang mulai berlaku sejak Februari 2011. Perjanjian tersebut ditujukan untuk membatasi jumlah hulu ledak nuklir menjadi 1.550 unit dan peluncurnya menjadi 700 unit untuk masing-masing negara. Perjanjian ini berlaku hingga sepuluh tahun ke depan dan dapat diperpanjang selama lima tahun dengan kesepakatan bersama.
Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia oleh RIA Novosti.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda