Pengamat: Turki Diincar Teroris Karena Dukung Rusia dalam Konflik Suriah

Seorang pemuda memegang poster bertulisan "Tum Turk halkina bas sagligi diliyoruz" di pintu masuk Kedutaan Turki di Moskow pasca-serangan Bandara Istanbul, 28 Juni 2016.

Seorang pemuda memegang poster bertulisan "Tum Turk halkina bas sagligi diliyoruz" di pintu masuk Kedutaan Turki di Moskow pasca-serangan Bandara Istanbul, 28 Juni 2016.

Artyom Korotayev/TASS
ISIS semakin merajalela di tengah upaya perdamaian yang tengah digodok.

Hubungan Ankara dan Moskow membuat Turki leebih condong mendukung Rusia dalam perang di Suriah, tulis lembaga pengamat intelijen internasional Soufan seperti dikutipSputnik, Selasa (3/1).

Menurut laporan Soufan, serangan pada malam Tahun Baru di klub Turki yang yang menewaskan setidaknya 39 orang memperlihatkan semakin merajalelanya kehadiran ISIS di tengah upaya perdamaian bersama yang tengah digodok oleh Turki dan Rusia.

"Pergeseran ini tak hanya mulai mengubah dinamika regional, tapi juga mengubah sifat ancaman yang diciptakan oleh ISIS di Turki," tulis laporan tersebut.

Setelah bertahun-tahun Turki dan Rusia berada di sisi yang berlawanan dalam konflik Suriah, bulan lalu Moskow dan Ankara menetapkan gencatan senjata sebagai langkah awal menuju pembicaraan untuk mengakhiri perang Suriah yang telah berlangsung selama enam tahun. Sementara, AS tidak dilibatkan dalam inisiatif ini.

Soufan memprediksi dengan beralihnya Turki ke pihak Rusia, etnis Turki dari bekas republik Soviet di Asia Tengah akan memanfaatkan fasilitas bebas visa ke Rusia untuk melakukan serangan yang serupa dengan insiden pembunuhan massal perayaan Tahun Baru di klub malam Turki.

Sebelumnya, Turki membantu sejumlah kelompok pemberontak yang hendak menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad, sementara Rusia mendukung Assad. Di lain pihak, Turki dituduh menyokong ISIS dengan membeli minyak dari kelompok teroris tersebut serta mengizinkan tentara asing transit di Turki saat menuju Suriah.

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki