Seorang tentara pemerintah Suriah berdiri di antara puing-puing kuil Bel yang dihancurkan oleh militan ISIS di Palmyra.
Valery Sharifulin/TASSPemerintah AS saat ini sepertinya sedang mencoba menghancurkan hubungan Rusia-AS untuk tahun-tahun mendatang, demikian tulis jurnalis Rusia Aleksandr Khrolenko di RIA Novosti, seperti dikutipSputnik.
Salah satu poin utama dalam rencana tersebut ialah keputusan untuk melanjutkan pasokan senjata bagi kelompok pemberontak di Suriah yang menentang Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Pada 27 Desember lalu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyampaikan pada Menteri Luar Negeri AS John Kerry bahwa keputusan pengiriman pasokan senjata bagi pasukan pemberontak antipemerintah di Suriah berisiko memperparah situasi di Suriah.
Di hari yang sama, Juru Bicara Kemenlu Rusia Maria Zakharova menyatakan bahwa senjata itu akan jatuh ke tangan teroris. "Hari ini Anda memasok MANPADS untuk pemberontak moderat, esoknya diketahui bahwa mereka adalah teroris. Kisah lama yang masih sama," kata Zakharova.
Sistem pertahanan udara man-portable (MANPADS) tak hanya mengancam operasi udara Rusia di Suriah, tapi suatu saat senjata itu juga bisa digunakan untuk melawan pasukan AS.
Khrolenko menilai alasan utama di balik pengambilan langkah tersebut adalah Partai Demokrat AS ingin segera kembali ke Gedung Putih dan pemerintah AS saat ini hendak menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan di Timur Tengah untuk beberapa tahun mendatang.
"Bisa saja sebelum pelantikan Donald Trump pada 20 Januari mendatang, AS akan mencoba memasok senjata sebanyak mungkin ke Timur Tengah. Strategi Washington di Suriah membuktikan bahwa AS tak bisa mengendalikan 'oposisi moderat'. Strategi mereka hanya memperparah konflik," tulis Khorolenko.
Menurut sang jurnalis, pasokan senjata bagi pemberontak Suriah merupakan strategi jangka panjang Barat untuk mempertahankan kekacauan di wilayah tersebut demi kepentingan ekonomi dan geopolitik AS.
Pada 26 Desember lalu, kantor berita Lebanon C.Military1 memublikasikan video tumpukan senjata dan amunisi buatan asing yang ditinggalkan oleh para milisi di Aleppo.
Tumpukan senjata buatan asing ditinggalkan oleh para militan di Aleppo.
Pada 27 Desember lalu, Menteri Pertahanan Iran Hossein Dehghan menyampaikan bahwa pasukan teroris Suriah memiliki kemampuan tempur yang signifikan.
"Dalam pertempuran di Aleppo, mereka kehilangan banyak komandan dan petarungnya. Mereka dipaksa meninggalkan Aleppo timur. Namun, mereka masih memiliki persenjataan yang cukup mumpuni. Kita tak bisa menyangkal itu," kata sang menteri.
"Saya tak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa Barat akan membanjiri milisi Suriah dengan uang dan senjata. Para ekstremis di Suriah mendapat gaji yang lumayan baik. Bagi sebagian besar dari mereka, kembali ke kehidupan normal berarti kembali ke kemiskinan. Seiring waktu, kelompok teroris mengubah nama dan moto mereka, tapi prinsipnya tetap sama," tulis Khrolenko.
Menurut sang jurnalis, senjata Barat meracuni Timur Tengah dengan perang dan kehancuran. "Banyak orang yang mulai terbiasa hidup di tengah kekacauan dan kekerasan. Sungguh realitas yang pahit, anak-anak lahir dan tak lama kemudian mereka akan menenteng senjata. Seluruh wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara berubah menjadi sabuk jihadis global," tambah Khorolenko.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda