Pakar: Putin-Abe Layak Dapat Nobel Jika Sepakati Traktat Perdamaian PD II

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.

AP
Keduanya sepakat membangun kerja sama ekonomi di wilayah Kepulauan Kuril.

Jika Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menandatangani perjanjian perdamaian Perang Dunia II, hal tersebut akan menjadi sebuah pencapaian yang pantas mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian, demikian disampaikan Direktur Pusat Studi Jepang dari Institut Studi Timur Jauh Valeriy Kistanov kepada Sputnik, Minggu (18/12).

Rusia dan Jepang masih terlibat dalam persengketaan wilayah yang bermula sejak Perang Dunia II, yang membuat kedua negara belum menandatangani perjanjian perdamaian untuk mengakhiri perang secara resmi.

Saat berada di Jepang kemarin, Putin menyatakan bahwa penandatanganan perjanjian perdamaian tersebut masih menjadi prioritas bagi Moskow.

"Jika ada yang mengira bahwa kami hanya tertarik mengembangkan hubungan ekonomi, sedangkan perjanjian perdamaian adalah kepentingan sekunder — itu adalah sebuah kesalahan," kata Putin saat menggelar konferensi pers bersama Abe. "Bagi saya, hal terpenting adalah menandatangani perjanjian perdamaian karena itu dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk kerja sama jangka panjang."

Sementara, pakar juga menilai hal ini pun merupakan isu prioritas bagi Abe.

"Sudah jelas Abe memiliki isu, tujuan, dan tugas lain. Ia harus menghadapi isu mengenai hubungan masa depan Jepang dengan AS dan persengketaan wilayah dengan Korea Selatan dan Tiongkok, tapi dalam kasus ini belum terlihat adanya solusi," tambah Kistanov.

Pada awal minggu ini, Putin dan Abe bertemu selama dua hari di Jepang. Kedua pemimpin fokus membicarakan kerja sama ekonomi dan isu sengketa wilayah Kepulauan Kuril, atau yang disebut Wilayah Utara oleh Jepang.

Putin dan Abe dikabarkan sepakat untuk bekerja sama dalam berbagai bidang di wilayah sengketa, yang mencakup sektor perikanan, pariwisata, budaya, dan obat-obatan.

Namun, pakar dari Institut Negeri Moskow Jurusan Hubungan Internasional (MGIMO) Konstantin Vodopyanov menilai masih belum tidak jelas apakah para petinggi di kedua negara akan mendukung kesepakatan ini.

"Ada oposisi yang kuat terhadap kebijakan Abe di Jepang dan tidak ada lobi pro-Rusia di sana," terang Vodopyanov. "Seseorang harus memberikan pengakuan kepada Abe karena ia telah memutuskan untuk melakukan pembicaraan terlepas dari ketidakpuasan Washington. Ini menandakan bahwa ia ingin membuat terobosan baru dalam hubungan Tokyo dan Moskow."

Menurut sang pakar, langkah ini merupakan hal yang baik. "Dalam kasus apa pun, dialog lebih baik daripada tidak ada dialog sama sekali," kata Vodopyanov.

Ia juga beranggapan bahwa Putin datang ke Jepang pada saat yang tepat. "Jepang tampaknya sangat tertarik untuk terus melanjutkan pembicaraan dengan Rusia. Bagi pihak Moskow, mereka ingin mendorong pebisnis Jepang untuk berinvestasi dalam membangun Timur Jauh dan melakukan diversifikasi hubungan ekonomi Moskow di Asia Pasifik," lanjut Vodopyanov.

Sepanjang kunjungan Putin ke Jepang, perusahaan Rusia dan Jepang menandatangani 68 perjanjian yang bidang energi nuklir, eksplorasi migas, logistik, investasi, farmasi, dan agrikultur.

"Abe dan saya mendukung inisiatif menetapkan kegiatan ekonomi bersama di Kuril Selatan. Kami berharap kerja sama macam ini akan memberi kontribusi untuk menciptakan atmosfer yang mendukung kelanjutan negosiasi keputusan perjanjian perdamaian," kata Putin.

Kepulauan Kuril merupakan subjek dari sengketa wilayah yang sudah lama antara Rusia dan Jepang. Jepang mengklaim pulau-pulau Kunashir, Iturup, Shikotan, dan kelompok pulau Habomai. Sengketa wilayah ini telah menunda Rusia dan Jepang dari penandatanganan perjanjian perdamaian setelah Perang Dunia II.

Hubungan antara Moskow dan Tokyo diliputi ketegangan selama puluhan tahun karena stauts empat pulau paling selatan yang berada di rantai Kuril, yang dianggap sebagai Wilayah Utara oleh Jepang.

Sekitar 19 ribu warga negara Rusia tinggal di pulau terpencil tersebut, yang direbut oleh pasukan Soviet pada hari-hari menjelang berakhirnya Perang Dunia II.

Kedua negara tersebut tak pernah secara resmi menyepakati traktat untuk menyelesaikan isu sengketa wilayah yang menghambat hubungan perdagangan selama berdekade-dekade.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki