Katya dan Pangeran Thailand Chakrabongse.
Archive photoDibesarkan di Kiev yang kala itu merupakan bagian dari Kekaisaran Rusia, Yekaterina ‘Katya’ Desnitskaya berasal dari keluarga kaya raya sampai akhirnya ia menghadapi masa-masa sulit. Ia pindah ke Sankt Peterburg untuk menjadi perawat dan kemudian memutuskan untuk bekerja di medan tempur selama Perang Rusia-Jepang pada tahun 1904 – 1905. Meski Pangeran Thailand Chakrabongse yang berniat meminangnya berupaya keras meyakinkan Katya untuk tetap tinggal di ibu kota Kekaisaran Rusia, gadis berusia 17 tahun itu memutuskan untuk mengabdi pada negaranya.
Atas pengabdiannya di medan tempur, Katya dianugerahi tiga penghargaan, yang paling terkenal ialah Medali Santo George. Saat ia kembali ke Sankt Peterburg, ada ketegangan akibat kekalahan Rusia atas Jepang dan rumor mengenai kudeta atau revolusi menyebar di tengah masyarakay. Yakin bahwa Pangeran Chakrabongse memiliki perasaan yang tulus, ia pun setuju untuk menikahi sang putra raja.
Tanpa menyinggung rencana pernikahannya pada rekan-rekan Rusianya, sang pangeran Thailand bertemu dengan Tsar Nikolay II, yang pada dasarnya merupakan ayah angkatnya, dan menyampaikan bahwa ia hendak pulang kembali ke Siam (sekarang Thailand). Meskipun pada masa itu belum ada internet, berita dan tersebar luas dalam hitungan hari. Karena itu, sang pangeran Thailand semakin yakin untuk merahasiakan pernikahannya.
Narissa Chakrabongse dan Eileen Hunter menulis dalam buku ‘Katya dan Pangeran Siam’ bahwa pasangan tersebut meminta restu atas pernikahan mereka dari kakak Katya yang bernama Ivan, yang juga merupakan satu-satunya anggota keluarga dekat yang mengenal keduanya.
Pangeran Chakrabongse sempat pindah agama menjadi pemeluk Kristen Ortodoks dan mereka menikah dalam prosesi rahasia di Gereja Ortodoks Yunani Konstatinopel di Istanbul. Sang pangeran Thailand khawatir jika teman baiknya sekaligus Kaisar Ottoman Sultan Abdul Hamid II mengetahui hal ini, kabar tersebut akan sampai ke telinga keluarga kerajaan Siam sebelum pasangan ini tiba di sana.
“Perjalanan memakan waktu berbulan-bulan dan sebelum menuju Asia melalui Pelabuhan Said, mereka menghabiskan waktu di Istanbul kemudian ke Kairo,” kata Thunjira Wattaporn, seorang peneliti yang tinggal di Chiang Mai. “Surat-surat dan catatan harian Katya mengindikasikan bahwa ia khawatir dengan kehidupan, makanan, dan budaya Siam. Namun, terlebih ia mengkhawatirkan bagaimana kabar mengenai pernikahan mereka akan sampai di telinga orang-orang.”
Pangeran Chakrabongse meninggalkan Katya di Singapura dan pergi ke Bangkok sendirian. Selama hampir tiga minggu ia merahasiakan pernikahannya, dan ketika rumor tersebut sampai ke telinga orangtuanya, ia mengatur agar Katya dapat bergabung dengannya.
Ayah Chakrabongse, Raja Chulalongkorn (Rama V), sempat melakukan sejumlah reformasi di Siam, dan yakin bahwa negaranya harus bergerak ke arah modernisasi dalam langkah yang pelan, tapi pasti. Raja Chulalongkorn tidak menyukai pernikahan campuran yang kala itu sudah umum terjadi di kalangan keluarga kerajaan Thailand. Namun, ia tak siap memiliki menantu orang asing.
“Chakrabongse merupakan orang kedua yang berada di garis penerus takhta, dan dengan memiliki istri seorang Eropa adalah fakta yang terlalu besar untuk diterima sang raja,” kata Wattaporn.
Pada awalnya, Ratu Saovabha juga menolak menerima pernikahan tersebut. Namun, perlahan sikapnya menghangat terhadap sang gadis Rusia, yang dalam waktu dua tahun fasih berbahasa Thailand. Saat Katya melahirkan cucu pertama Saovabha, Pangeran Chula, sang ratu secara berkala mulai menemui menantunya.
Yekaterina dan anaknya, Pangeran Chula. Sumber: Foto arsip
Buku Narissa Chakrabongse dan Eileen Hunter berisi sejumlah surat yang ditulis Katya untuk kakaknya. Ia mendeskripsikan transisi awalnya, yang dimulai dengan kehidupan yang cukup terisolasi, dan bagaimana ia mulai menjadi orang dalam.
“Bagaimanapun, semua ini berlangsung lebih baik dari yang aku duga,” tulis Katya dalam salah satu suratnya. “Tentu, pernikahan kami tak bisa berjalan tanpa skandal, dan sejujurnya, ini adalah langkah besar yang diambil Lek (Chakrabongse), mengingat ia adalah orang Siam, seorang penganut Buddha, dan terlebih adalah putra raja yang sadar betul dengan segala rumor yang menyebar di tengah rakyatnya.”
Katya mendapat gelar Putri Bisnulok karena Chakrabongse merupakan pangeran penguasa kota yang saat ini dikenal sebagai Phitsanulok.
Katya dan Chakrabongse tinggal di Istana Paruskavan Bangkok. Ia belajar bahasa Thailand dan Inggris, serta mengurus istana dan taman, meski ia bingung dengan hubungan antara keluarga kerajaan dengan pelayang-pelayannya. “Para pelayan di sini datang ke istana dan menawarkan diri untuk melayani tanpa dibayar,” tulis Katya. “Ini adalah hal yang paling luar biasa, bahkan ketika menyadari bahwa semua pelayan di istana ini bekerja dengan tulus dan sukarela, hal itu masih tetap terasa tak biasa.” Katya juga tak nyaman dengan fakta bahwa para pelayan merangkak di hadapannya, untuk menunjukkan penghormatan.
Meski ia adalah seorang penganut Kristen Ortodoks yang taat, Katya mulai menyukai Buddhisme. “Semakin saya mengenal adat istiadat Buddha, semakin saya menyukai agama ini,” tulisnya dalam surat lain untuk kakaknya.
Katya juga skeptis terhadap orang-orang Eropa lain yang tinggal di Siam dan mengkritik sikap rasis mereka terhadap warga Thailand. “Menjijikkan. Meski mereka bekerja di Siam dan menerima bayaran yang sangat besar dari orang Siam, mereka menganggap rendah orang Siam dan mencemooh mereka,” tulis Katya.
Di banyak suratnya, Katya menggambarkan Siam sebagai surga dan menulis mengenai kehidupannya yang menyenangkan. Pasangan ini memiliki rumah lain di seberang sungai dari Candi Wat Arun dan sebuah vila di kota resor Hua Hin.
“Mereka hidup bahagia. Mereka menjelajahi negara itu dan berwisata ke Eropa,” kata Wattaporn. “Karena pengeluarannya tak dibatasi, Katya berjalan-jalan sendirian. Malah, mereka kerap harus berpisah karena Chakrabongse menjadi pejabat militer senior dan harus pergi bertugas.”
Buku Narissa Chakrabongse dan Eileen Hunter mendeskripsikan masa naik-turun dalam tahun-tahun pertama pernikahan Katya dan sang pangeran serta bagaimana mereka kemudian menjauh. Katya semakin khawatir terhadap Rusia pada masa Perang Dunia I dan terguncang oleh Revolusi Bolshevik serta fakta bahwa banyak teman dan anggota keluarganya yang harus mengungsi.
“Katya dan Chakrabongse mulai berpisah dan saat Katya sedang berwisata, sang pangeran berselinguh dengan sepupunya yang berusia 15 tahun,” kata Wattporn. “Hal ini membuat pasangan Thailand-Rusia ini memutuskan untuk bercerai.”
Pasangan tersebut bercerai pada 1919 dan Katya menolak penawaran besar dari Chakrabongse, yang mengajukan tawaran pembayaran 1.200 paun per tahun. “Ia bahkan menolak hadiah perhiasan dari Raja Rama VI,” tambah Wattaporn.
Terkejut dan tersakiti, Katya pindah ke Peking, tempat kakaknya bekerja sebagai direktur Rel Kereta Api Timur Tiongkok.
“Saat Katya menemukan dirinya berada di sebuah kota yang penuh oleh pengungsi, beberapa di antaranya bahkan berada dalan kondisi yang sangat menyedihkan, sebagian lain menerima tawaran pekerjaan apa pun terlepas dari status dan jabatan terhormat yang pernah mereka miliki, ia dengan semangat memutuskan untuk bergabung dengan Organisasi Sukarelawan Rusia,” tulis Narissa Chakrabongse dan Eileen Hunter. “Dan sebagai anggota yang hebat dengan pengalaman sebagai perawat, ia disambut dengan tangan terbuka, dan kemudian hari-harinya diisi dengan pekerjaan yang berkaitan dengan kesejahteraan dan administrasi.”
Katya sempat kembali ke Bangkok pada 1920 untuk pemakaman Pangeran Chakrabongse yang meninggal secara misterius pada usia 37 tahun. “Hingga kini, banyak yang percaya bahwa orang Prancis mungkin telah meracuni sang pangeran karena ia menentang ekspansi mereka ke Laos dan Kamboja,” kata Wattaporn.
Penari balet Kirill Yermolenko dan Alisa Aslanova mementaskan tari balet "Katya dan Pangeran Siam" pada acara pembukaan Festival Balet Internasional IV di Kremlin. Sumber: Vladimir Vyatkin/RIA Novosti
Katya kemudian menikahi seorang insinyur Amerika di Peking dan tinggal di Pari. Di Paris, ia secara rutin berinteraksi dengan imigran Rusia dan orang-orang yang tumbuh bersamanya. Saat Perang Dunia II meletus, ia pindah ke Portland, Oregon, bersama suaminya. Ia meninggal di usia 72 tahun pada 1960 dan dimakamkan di Paris.
Kisah Katya dan Chakrabongse diadaptasi menjadi pertunjukan balet oleh Teater Balet Kremlin dan Orkestra Kepresidenan Rusia, serta ditampilkan di Festival Internasional Tari dan Musik Bangkok pada 2003.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda