Kenapa Uni Soviet Membantu Thailand Menumpas Pemberontak Komunis?

Prajurit-prajurit Partai Komunis Thailand berlatih di sebuah hutan Thailand pada 1978.

Prajurit-prajurit Partai Komunis Thailand berlatih di sebuah hutan Thailand pada 1978.

AP
Sekalipun memiliki peluang untuk menyebarkan pengaruh komunisme ke Negeri Gajah Putih, Uni Soviet justru menolak membantu Partai Komunis Thailand yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pada 1965. Keputusan ini terbukti mendorong terjalinnya hubungan baik Rusia-Thailand sejak 1990-an.

Hubungan diplomatik yang hangat antara Rusia dan Thailand pada era pemerintahan Tsar Nikolay II dan Raja Rama V sempat terganggu setelah Revolusi Bolshevik tahun 1917. Seperti kebanyakan keluarga kerajaan di Eropa, Dinasti Chakri di Thailand pun terkejut dengan eksekusi sang tsar beserta keluarganya. Sejak perstiwa itu pula, hubungan diplomatik Moskow dan Bangkok praktis terhenti hingga 1941.

“Thailand adalah negara pertama di Asia Tenggara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Soviet,” ungkap Thunjira Wattaporn, seorang peneliti yang tinggal di Chiang Mai, Thailand, kepada RBTH. “Hubungan ini sudah terjalin lama sebelum Uni Republik Sosialis Soviet (URSS) berupaya menyebarkan paham komunisme di Indochina.

Indochina adalah wilayah di Asia Tenggara yang berada di timur India dan selatan Tiongkok. Wilayah Indochina terdiri atas negara-negara bekas Indochina Prancis, yaitu Kamboja, Laos, dan Vietnam. Sementara secara lebih luas, wilayah yang juga disebut sebagai Asia Tenggara Daratan ini juga mencakup Myanmar dan Thailand.

Kedutaan Besar Uni Soviet dibuka di Bangkok pada 1948. Namun sebenarnya, ini semua merupakan pencapaian atas sejumlah manuver diplomatik Uni Soviet. “Meskipun Uni Soviet tidak ingin mengintervensi pemerintah Thailand, ada sedikit timbal balik dalam proses pembukaan Kedubes Soviet,” ujar Wattaporn.

Thailand ingin Uni Soviet mengesahkan keanggotaannya di PBB. Di sisi lain, Moskow mendesak Bangkok untuk menghapus Undang-undang Antikomunis Tahun 1933. “Bahkan simbol dasar Uni Soviet (palu dan arit) akan dilarang apabila undang-undang itu tidak dihapus,” ujar Wattaporn. “Uni Soviet menaruh perhatian pada Indochina, yang kala itu dikuasai Prancis. Uni Soviet sama sekali tak berniat menyebarkan komunisme di Thailand.”

Pemberontakan Komunis di Thailand

Pada 1965, Partai Komunis Thailand (CPT) melancarkan perang gerilya terhadap pemerintah. Konflik yang berlangsung selama 18 tahun ini, mendapat dukungan beberapa negara komunis, termasuk Tiongkok, yang mendukung kelompok pemberontak pada 1970-an. Melalui Khmer Merah, negara tetangga Thailand, Kamboja, juga mendukung para pemberontak komunis untuk menggulingkan kerajaan.

Uni Soviet merupakan satu-satunya negara komunis yang enggan mendukung pemberontak Thailand, baik secara terang-terangan maupun terselubung. “Uni Soviet dapat dengan mudah memanfaatkan situasi itu dengan menyebarkan komunisme sampai Malaysia, tapi mereka justru memutuskan untuk tidak memperkeruh situasi di Thailand,” lanjut Wattaporn. “Tentu saja, ada pertimbangan praktis dan faktor konflik Tiongkok-Soviet yang berperan di sini.”

Pada awalnya, CPT sempat meminta bantuan Soviet dalam perang tersebut. Namun, permintaan mereka justru ditolak. CPT kemudian menyebut Uni Soviet “revisionis dan imperialis sosial.”

“Kedekatan Tiongkok (yang berada kurang dari 160 km dari perbatasan Thailand), hubungan kuat Tiongkok dengan pemimpin-pemimpin CPT, dan ucapan dubes Uni Soviet untuk Singapura di akhir 1970 bahwa ia ‘meragukan apakah para komunis di Indonesia, Thailand, dan Malaysia mengikuti ajaran Marxisme’, semua itu menunjukkan bahwa Uni Soviet tidak ingin mendukung CPT, dan lebih mementingkan hubungan dengan pemerintah Thailand,” tulis Geoffrey Jukes, seorang peneliti yang akrab dengan politik Rusia kala itu, dalam bukunya ‘Uni Soviet di Asia’.

Stabilitas Thailand, yang berasal dari tidak adanya kolonialisme dan perebutan tanah, menyebabkan doktrin sosialis tak berkembang di sana, kata Jukes dalam bukunya. Ia menambahkan bahwa Uni Soviet menunjukkan pengaruhnya terhadap Bangkok dengan keikutsertaannya pada Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik, atau lebih dikenal dengan nama ESCAP.

Krisis Kamboja

“Hingga akhir 1970-an, tidak ada konflik atau progres apa pun,” ungkap Kedutaan Besar Rusia di Bangkok dalam pernyataan di website mereka ketika menjelaskan hubungan Thailand-Soviet. Hubungan perdagangan terbatas pada impor beras Thailand dan ekspor peralatan berat, sementara serangkaian faktor tak terlalu mengubah dinamika hubungan Moskow-Bangkok.

“Thailand membutuhkan Uni Soviet untuk menumbangkan Khmer Merah dan membawa keseimbangan di Kamboja,” kata Wattaporn menjelaskan. “Ini didukung dengan fakta bahwa pasar tradisional Thailand semakin tertutup sehingga mereka harus ‘menembus’ Blok Timur.”

Pada 1979, Perdana Menteri Thailand Kriangsak Charmanan mengunjungi Moskow tepat sebelum penumpasan Khmer Merah di Kamboja. Dalam hubungan timbal balik diplomatik, Uni Soviet setuju untuk membantu menyeimbangkan situasi di negara tetangga Thailand yang kala itu tengah dilanda perang sipil dan Thailand membuka kesempatan membangun hubungan yang lebih luas dengan Uni Soviet. Masyarakat Persahabatan Soviet-Thailand pun resmi dibentuk selama kunjungan Charmanan.

Pada pertengahan 1980-an, Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev mengunjungi Thailand dan beberapa sekutu di Barat. Hal ini dilihat sebagai perintis kebijakan pivot Rusia ke Asia.

“Pemerintah Thailand bersyukur Uni Soviet tidak mengintervensi selama masa Perang Dingin. Uni Soviet justru menunjukkan penghormatan dan dukungan besar terhadap Bangkok,” lanjut Wattaporn. “Ada niat baik yang terbentuk saat itu, dan akhir Perang Dingin memberikan dorongan lebih besar terhadap hubungan Rusia-Thailand.

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki