Beberapa tahun lalu, sebuah film dokumenter mengenai Yevgeny Kaipanau (kiri), eorang warga suku Chukchi berusia 36 tahun, dibuat dan mendapat penghargaan bergengsi Piala TEFI Rusia.
Yevgueni KaipanauUntuk mencapai Anadyr (pusat administrasi Chukotka) dari Moskow, Anda harus terbang lebih dari enam ribu kilometer ke timur. Di sini, di daratan yang membeku dengan angin yang bertiup dari Samudra Arktik dan Laut Barents, suhu bisa turun mencapai -50 derajat Celcius pada musim dingin.
Dengan populasi sebesar 16 ribu jiwa, Anadyr adalah kota terbesar di Chukotka. Wilayah Chukotka itu sendiri berpenduduk 50 ribu jiwa, dan 15 ribu di antaranya merupakan suku Chukchi. Dari atas, kota ini terlihat seperti kota permen warna-warni karena rumah-rumah di sini dicat dengan warna mencolok. Di Anadyr terdapat sekolah, rumah sakit, pelabuhan, dan sebuah perpusatakaan. Dengan demikian, kota ini merupakan daerah yang paling maju di Chukotka. Di permukiman lain, kondisinya lebih parah dan Anda hanya bisa pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan ATV atau rusa.
Suku Chukchi telah lebih dulu menetap di daerah tundra ini jauh sebelum era Kristen dan menyebut diri mereka sebagai Luoraveti — orang sungguhan. Dulu, mereka berkelana melewati Semenanjung Chukotka dengan ribuan rusa kutub, berburu paus, dan tinggal di yaranga, tenda yang terbuat dari kulit rusa kutub yang bisa dipindah-pindah.
Namun, kehidupan tradisional suku Chukchi sangat sulit hingga kematian tak dianggap sebagai tragedi. Etnografer terkemuka Rusia Vladimir Bogoraz menulis mengenai fenomena ‘kematian sukarela’ di kalangan suku Chukchi, ketika seorang tetua entah melakukan bunuh diri atau meminta kawan atau kerabatnya membunuhnya. Alasan kematian sukarela pada lansia bukanlah ketiadaan kasih sayang terhadap kerabat mereka, melainkan karena kondisi yang sangat sulit.
Namun, hal ini tak membatasi suku Chukchi menjadi petarung tangguh dan satu-satunya suku di Chukotka (terdapat pula suku Even, Yukaghir, Kerek, dan Eskimo) yang tidak menyerah pada ekspansi orang Rusia pada abad ke-17.
Dengan kehadiran Uni Soviet, yang memberlakukan kebijakan untuk mendukung dan “pembudyaan” warga pribumi di utara, kehidupan suku Chukchi berubah drastis. Orang-orang Chukchi diajarkan menulis dan menerima pendidikan. Harapan hidup meningkat secara signifikan seiring dengan menurunnya tingkat kematian. Sayangnya, setelah kejatuhan Uni Soviet, wilayah ini mengalami degradasi: peternakan gembala rusa dan pabrik bulu ditutup karena tak cocok dengan realitas kapitalis baru, dan tak ada pekerjaan lain.
Kebanyakan warga suku Chukchi kini tak lagi tinggal di yaranga, melainkan di bangunan tetap dan bekerja di sektor pelayanan. Namun, kehidupan di Chukotka masih keras: kebanyakan barang adalah barang impor dan sangat mahal, sedangkan gaji penduduk rendah (20 ribu rubel atau sekitar 4,4 juta rupiah). Kenyataan ini membuat anak-anak muda pindah ke daerah lain di Rusia. Jumlah perdagangan nasional dari menggembala rusa dan berburu binatang laut pun menurun. Pada 2015, terdapat kurang dari seribu gembala rusa kutub yang tersisa.
Vladimir Puya. Sumber: Arsip pribadi
“Sebelumnya, berdagang merupakan ciri khas wilayah ini. Masalah mulai muncul pada 1990-an. Dan setelah tahun 2000-an, ketika miliarder Roman Abramovich tak lagi menjadi gubernur Chukotka, gembala rusa menjadi industri yang merugi. Ini karena daging rusa harganya lebih mahal daripada yang dibeli dari daratan Rusia, sehingga tak berkembang di pasar,” terang Vladimir Puya, seorang penggembala rusa turun-temurun dan sekaligus seorang direktur.
Meski kehidupan suku Chukchi sulit, masih ada orang-orang yang mempertahankan tradisi mereka. Sebagai contoh, penduduk dari permukiman Lorino, yang terletak di pesisir Laut Barents, masih berburu paus. Beberapa tahun lalu, sebuah film dokumenter mengenai mereka dibuat dan mendapat penghargaan bergengsi Piala TEFI Rusia.
Kisah dalam film tersebut menceritakan Yevgeny Kaipanau, seorang warga suku Chukchi berusia 36 tahun yang besar di Lorino dan kini bekerja untuk ansambel nasional di Moskow. Ia masih berhubungan baik dengan kerabatnya yang tetap tinggal di kampung kelahirannya.
“Sejak saya lahir, saya tahu bagaimana berburu anjing laut dan paus, bagaimana memancing dan menjelajahi tundra.” Ia mengaku bahwa ada anak-anak muda di Chukotka yang ingin mempertahankan tradisi mereka. “Mereka belajar bahasa Chukchi, berpartisipasi dalam perayaan nasional, dan hidup dari berburu paus.”
Apa yang menanti warga suku Chukchi di masa depan? Di luar batuan keuangan dari pemerintah Rusia dan beberapa pabrik yang beroperasi di wilayah tersebut, situasi sosial-ekonomi di Chukotka jauh lebih sulit dari wilayah lain Rusia.
Makin banyak orang Chukchi yang terpaksa pindah dari desa mereka dan tinggal di kota untuk mencari kerja dan tempat tinggal, sehingga kehilangan cara hidup tradisional mereka. Akibat iklim yang ganas, sistem kesehatan yang buruk, serta standar kehidupan sosial yang rendah, usia harapan hidup standar suku Chukchi hanyalah 45 tahun.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda