Aleksey Korolev tergabung ke dalam detasemen khusus ketika usianya 18 tahun.
Vladimir AnosovAleksey Nikanorovich Korolev yang berasal dari Krasnodarskiy Krai (Rusia selatan) tergabung ke dalam detasemen khusus selama Perang Patriotik Raya.
Ketika tentara Nazi Jerman diusir dari wilayah Soviet, Korolev bertugas memburu mata-mata dan pelaku sabotase. Di tengah stepa Kazakhstan, ia mengejar komplotan perampok dan menangkap samurai di perbukitan Manchuria.
Aleksey Korolev tergabung ke dalam detasemen khusus ketika usianya 18 tahun.
“Kami awalnya melakukan kerja lapangan di wilayah Kuban dan Kaukasus, lalu kami ditugaskan di Ukraina dan Kazakhstan,” kata sang veteran. “Kami berperang melawan desertir dan mata-mata. Kami juga bersembunyi di hutan bersama dengan pasukan nasionalis Ukraina. Kami berjalan membuntuti jejak Basmachi di stepa Aral. Kami menghabiskan waktu hampir selama tiga bulan di Padang Pasir Karakum, lalu setelah penghapusan gerombolan tersebut, unit kami dikirim ke Timur Jauh. Hal ini terjadi pada awal Agustus 1945. Setelah penandatanganan atas menyerahnya Nazi Jerman, pasukan kami mulai dipindahkan ke daerah ini. Ketika kami tiba di perbatasan Manchuria, kami melihat ada banyak tank, artileri, dan infanteri.”
“Pada awalnya, kami beroperasi di dataran, kemudian tampak perbukitan. Kami berjalan di sepanjang rawa, dan di setiap sudut kami berjaga-jaga menanti ada yang menyerang kami. Pasukan Jepang meninggalkan para kamikaze di tepi jalan. Mereka bersembunyi di lubang dengan kedalaman satu setengah meter. Mereka meletakkan bom ke bawah roda rantai tank kami dengan menggunakan papan panjang.”
“Kami tidak menemukan satu pun mobil perang Rusia yang diledakkan di sana, tetapi ada banyak jenazah tentara Jepang yang bergelimpangan di pinggir jalan,” kata Aleksey Nikanorovich.
“Tentara Kwantung tidak bisa menahan serangan dari pasukan kami. Momen itu dapat disebut sebuah blitzkrieg (sebuah metode perang kilat dengan menggunakan pasukan bermotor sebagai tulang punggung suatu serangan -red.) yang sesungguhnya: penggabungan kekuatan udara dan laut, tank dan pasukan daratan berhasil berkonsentrasi di satu tempat dan melancarkan bom. Operasi itu dilakukan pada waktu yang sama dan dari berbagai sisi. Saya berpartisipasi dalam pembebasan kota Tiongkok bernama Mulina dari penjajah Jepang, kemudian, kota Mudanjiang, yang selepas sepuluh hari kemudian di depan kami bergerak koloni tawanan Jepang.”
Di Mudanjiang, Korolev masuk ke dalam detasemen khusus lagi.
“Tentara Jepang berhasil dikalahkan, tetapi sebagian pasukannya melarikan diri ke hutan dan bersembunyi di bukit-bukit. Dari sana, mereka kemudian keluar untuk merampok penduduk Tiongkok,” katanya mengenang.
“Pertama kalinya saya melihat samurai yang dirantai melakukan harakiri pada dirinya sendiri ialah saat ia telah kehabisan amunisi. Tidak ada yang berani berjalan di luar sendirian: kapan saja pasukan penyergap Jepang bisa melompat keluar. Mereka melompat dari pepohonan, dari atap rumah dan menyerang tentara kami. Di Mudanjiang, salah satu letnan kolonel kami terbunuh, pemberian penghormatan terakhir terhadapnya diadakan di alun-alun yang terletak di pusat kota. Banyak orang yang berkumpul. Tiba-tiba, kami melihat keributan. Kami pun segera menghampirinya. Ternyata ada samurai yang sedang bersiap-siap meledakkan dirinya dan kerumunan orang.”
Pada 2 September 1945, perjanjian atas menyerahnya Jepang ditandatangani. Dokumen tersebut pun menandai berakhirnya Perang Dunia II.
“Setelah itu, kami pergi bersama dengan perwira Jepang,” kata Korolev. Melalui pengeras suara, mereka mengumumkan mengenai berakhirnya perang dan mengatakan bahwa kaisar telah menandatangani perjanjian untuk menyerah, dan menyerukan rakyatnya untuk menyerah tanpa perlawanan. “Sebagian besar dari mereka melakukannya, tetapi bagi mereka yang tidak menghiraukan hal tersebut, kami masih membutuhkan beberapa bulan pertarungan di perbukitan Manchuria.”
Tentara Merah mengusir penjajah Jepang dari wilayah yang mereka duduki bersama-sama dengan para gerilyawan Tiongkok. Di jalan, orang-orang menyambut momen tersebut dengan ibu jari mengacung ke atas dan bersorak-sorai.
“Semua pasukan kami disebut ‘Vanyami’, kami berusaha untuk menyuguhkan para tamu kami dengan semua yang kami miliki. Kami mengambil gramofon dari rumah dan memutar lagu-lagu Soviet,” kata Korolev mengenang.
“Dengan rasa haru, kami menikmati alunan lagu tersebut. Karena dulu, misalnya, ketika mendengar lagu ‘Shiroka Strana Moya Rodnaya’ (Tanah Air Saya yang Luas) pada masa kekuasaan Jepang, mereka dapat nekat menembak mati seluruh orang-orang di jalan.”
Medali “kemenangan atas Jepang” diberikan di Rusia kepada Korolev. Untuk kedamaian hidup, ia kembali pada tahun 1951, didemobilisasi dari tentara dan kembali ke wilayah asalnya di Kuban.
“Selama hampir 60 tahun, saya bekerja di depot lokomotif Krasnodar. Atas pengenalan teknologi baru pada 1959. Saya dinobatkan sebagai ‘sosok kehormatan’, dan pada 1975, saya menerima gelar ‘pegawai kereta api kehormatan’, dan pada tahun 2000 saya dianugerahkan sebagai ‘pekerja Kereta Api Kehormatan Kaukasus Utara’.”
Pada 20 Juni 2015 lalu, Aleksey Nikanorovich berusia 90 tahun. Pada ulang tahunnya itu, seluruh kerabatnya yang terdiri dari tiga anak, enam cucu dan cicit berkumpul. Ketika jaket yang penuh dengan medali dikeluarkan dari lemari, cucu sang kakek meminta untuk menceritakan kembali kisah-kisahnya. Masih terekam dengan jelas dalam ingatannya, bagaimana ia bertarung melawan samurai di perbukitan Manchuria 70 tahun silam.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda