Lewat Musik, German Dmitriev Ingin ‘Jembatani’ Budaya Rusia dan Indonesia

Selain bermusik, German juga seorang pecandu olahraga ekstrem.

Selain bermusik, German juga seorang pecandu olahraga ekstrem.

Arsip pribadi
Beberapa tahun belakangan ini, German Dmitriev, seorang pemain biola asal Rusia, aktif berkolaborasi dan menggarap proyek musik di Indonesia dengan para musisi ternama di Tanah Air. Februari lalu, ia berkolaborasi dengan orkestra pimpinan Addie M.S. dalam konser Twilite Orchestra “A Tribute to John Williams”, yang menampilkan berbagai karya komposer ternama tersebut yang dikenal melalui film-film legendaris dunia, seperti Star Wars, Superman, Harry Potter, Jurassic Park, dan sebagainya. RBTH Indonesia berkesempatan mewawancarai sang pemain biola asal Rusia tersebut dan mencari tahu bagaimana awal mulanya ia bisa berkarya di Indonesia dan apa rencananya di masa depan.

RBTH (R): Bagaimana awal mula Anda berkarir di Indonesia?

German Dmitriev (G.D.): Ini semua bermula secara tidak sengaja. Awalnya, saya hanya sering ke Bali untuk liburan. Jadi, ini semua bermula dari Bali pada 2011. Pada salah satu kunjungan saya ke Bali, saya membawa biola saya, dan sebetulnya itu hanya untuk bersenang-senang. Saya punya teman di sana dan kami bermain musik bersama. Seseorang melihat saya dan setelah itu ia mengundang saya untuk tampil di sebuah acara di hotel yang besar. Setelah penampilan itu, seseorang di hotel mengundang saya untuk tampil di sebuah festival internasional di Ubud, Bali. Setelah itu, saya bertemu seorang lainnya. Dia bertanya apakah saya mau tinggal di Bali sedikit lebih lama. Saya pikir, kenapa tidak? Empat bulan kemudian, saya kembali ke Bali dengan biola saya. Sejak itulah, saya membuat proyek dengan para musisi lokal.

R: Apa yang menginspirasi Anda untuk berkolaborasi dengan para musisi lokal di Bali?

Selain bermusik, German juga seorang pecandu olahraga ekstrem. Ia telah melakukan lebih dari seribu lompat bungee dan terjun payung. Dia juga senang mengendarai sepeda motor Chopper demi memacu adrenalinnya.

Foto: Arsip pribadi

G.D.: Sebelum memutuskan kembali ke Bali, saya bertemu seorang pemain gamelan di Bali. Dari situlah saya mendapatkan ide. Saya pikir, akan sangat menarik jika saya bisa berkolaborasi dengan para musisi tradisional di Indonesia, tapi di satu sisi, jenis musik yang dimainkan adalah musik klasik. Jadi, saya sangat bersemangat dan setelah beberapa bulan di Rusia, saya kembali ke Bali, dan mulai menjelajahi indonesia dan budayanya.

R: Bagaimana Anda kemudian bisa mengembangkan karir ke Jakarta?

G.D.: Pada saat saya mulai membuat album, saya mungkin sudah di Bali selama enam bulan. Sementara saya membuat album, membuat rekaman, saya pun semakin sering bekerja sama dengan para musisi Indonesia. Pada saat yang sama, Kedubes Rusia di Jakarta pun semakin sering mengundang saya untuk mengisi acara yang mereka buat. Jadi, saya pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membangun jaringan. 

Setelah itu, saya pun semakin sering diminta tampil di Jakarta. Beberapa kali saya diundang perusahaan besar — saya pernah diundang untuk tampil di sebuah acara ulang tahun majalah ternama di Indonesia — saya tampil untuk mereka.

R: Pada saat yang sama, di tengah banyaknya permintaan untuk tampil di berbagai acara di Jakarta, Anda juga mengerjakan album Anda?

G.D.: Ya, saya mengerjakan beberapa aktivitas musik di sini. Saya berhasil menyelesaikan album saya di sini. Ini merupakan suatu proyek antara saya dan para musisi Rusia. Untuk sesi rekaman mereka (musisi Rusia) dilakukan di Rusia, sedangkan untuk bagian biola direkam di Indonesia. Jadi, saya bolak-balik Rusia-Indonesia untuk merampungkan segalanya. 

R: Bisa ceritakan tentang album Anda? Apakah album ini melibatkan banyak instrumen?

G.D.: Di album saya, saya menggabungkan banyak instrumen. Jadi, di album itu bukan hanya solo biola, tapi ada juga gitar, drum, dan bahkan musik elektronik. Di album ini juga ada banyak kolaborasi dengan berbagai musisi dan grup band. Album saya berjudul “Equilibrium”. Idenya saya ambil dari konsep keseimbangan. Jadi, equilibrium berarti seimbang. Ada hitam dan putih, baik dan buruk, yin dan yang, dan sebagainya.

R: Selama di Indonesia, dengan siapa saja Anda pernah berkolaborasi?

D.G.: Saya pernah berkolaborasi dengan Erwin Gutawa. Selain itu, saya juga bergabung dalam orkestra milik Addie M.S., dan ada pula kolaborasi dengan Judika. Saya dan Judika pernah berkolaborasi dalam suatu acara bernama "Tribute to Guruh Soekarno Putra" (2014).

Selain itu, saya juga pernah berkolaborasi dengan banyak artis Indonesia lainnya. Suatu kali saya bahkan pernah berkolaborasi dengan Syahrini.

R: Sejak kapan Anda belajar bermain biola?

D.G.: Saya belajar biola sejak umur enam tahun. Sebetulnya sejak lima tahun, tapi beberapa bulan kemudian saya berulang tahun. Saat masih di Rusia, saya sering pergi menghadiri festival musik di negara-negara lain untuk rekaman, seperti di Jepang, Jerman, Italia. Lalu akhirnya, kenapa pilih Indonesia? Saya tidak tahu, ini terjadi begitu saja.

R: Sekarang Anda menetap di Jakarta?

G.D.: Sekarang saya tinggal di Jakarta, tapi saya kerap berpindah-pindah. Kadang ada acara di Singapura, lalu kembali ke Rusia, pindah ke kota lain, dan negara lain.

R: Apa yang membedakan musisi Indonesia dengan musisi Rusia?

G.D.: Saya pikir, musisi indonesia sangat multitalenta. Mereka khususnya — memang tidak semua — dikaruniai talenta yang luar biasa. Saya bertemu banyak musisi Indonesia yang penuh talenta, yang benar-benar dikaruniai oleh Tuhan. Maksud saya, ada banyak musisi di Indonesia yang tidak bisa baca partitur, tapi mereka bisa bermain musik dan bernyanyi dengan hati mereka. Di Rusia, mayoritas musisi bisa membaca partitur, tapi kalau bermain dari hati, ini jarang sekali.

Ikut Berperan dalam Film Layar Lebar

Selain proyek musik, baru-baru ini German juga turut membintangi film layar lebar "Jagoan Instan" yang diproduksi oleh Starvision. Dalam film yang dirilis di bioskop di seluruh Indonesia sejak 18 Februari lalu tersebut, German berperan sebagai Mr. Z, satu dari tiga orang pahlawan super yang membantu Gunadi (Dede Yusuf), seorang mantan jagoan Indonesia, mendapatkan serum untuk mengubah seseorang menjadi manusia berkekuatan super.

Menurut Dede Yusuf yang menjadi rekan adu peran German dalam film tersebut, German berencana membangun sekolah musik untuk anak-anak Indonesia. Karena itulah, menurut Dede, dia memulai dari sekolompok kecil anak-anak yang ia ajar saat ini.

R: Di sini Anda juga berusaha memperkenalkan musik klasik lebih luas kepada masyarakat Indonesia. Bagaimana pandangan Anda terhadap penerimaan musik klasik di tengah masyarakat Indonesia?

G.D.: Jika kita bicara soal musik klasik, bahkan di Rusia pun jenis musik ini bisa dikatakan tersegmentasi. Namun, saya bisa bilang bahwa musik klasik termasuk sesuatu yang baru bagi orang indonesia. Kalau kita bandingkan dengan Rusia, sejak 200 tahun lalu, budaya Rusia telah menampilkan balet klasik dan opera. Di Rusia ada banyak komposer ternama, seperti Sergei Rachmaninoff dan Pyotr Tchaikovsky. Sementara, Indonesia tidak memiliki budaya Eropa semacam ini. Jadi, ini sesuatu yang baru, ini sesuatu yang baru “ditemukan”.

Jadi, saya pikir masih banyak orang menunggu hingga pikiran mereka terbuka untuk menerima musik klasik. Karena itu, mungkin ini waktu yang tepat bagi saya untuk berada di sini. Mungkin saya bisa berbagi sesuatu yang baru.

R: Bagaimana pendapat Anda mengenai apresiasi orang Indonesia terhadap musik?

G.D.: Kalau kita bicara soal musik dangdut, saya pikir hampir semua orang di Indonesia suka musik dangdut. Orang Indonesia suka mendengarkan musik, tapi saya harap orang-orang akan semakin “lapar” dengan musik klasik. Namun, dengan segala acara dan penampilan orkes klasik yang dibuat di sini, ini bisa membawa angin segar untuk perkembangan musik klasik di Indonesia. Saya harap semakin hari akan semakin banyak orang yang terbuka pikiran dan hatinya untuk musik klasik.  Saya juga kadang suka dangdut, memang tidak selalu. Namun, ini semua bukan soal perbedaan “kelas” musik, tapi ini hanya beda dalam hal sudut pandang; dari jiwanya.

Selain itu, saya pikir generasi pianis Indonesia saat ini sangat kuat. Saya harap akan ada banyak pianis hebat di Indonesia. Joey Alexander, pianis cilik yang tampil pada Grammy Awards belum lama ini adalah salah satunya. Namun, ada juga Levi Gunardi. Dia adalah seorang pianis dan  guru yang hebat. Sementara untuk biola, ini cukup sulit. Kita bisa melihat bahawa di Indonesia memang belum punya “budaya biola”.

Saya tahu ada beberapa komunitas biola di Jakarta, tapi saya tidak pernah terlibat di sana. Saya merasa bahwa ini karena saya orang asing, sehingga orang-orang agak menjaga jarak dengan saya; untuk berkomunikasi dengan saya. Jadi, hingga kini saya tidak bisa bilang ada yang mengajak saya bergabung (ke dalam komunitas), tapi saya tahu ada bahwa setiap hari Minggu, misalnya, ada banyak pemain biola yang berlatih di Taman Surapati.

R: Apakah Anda menggemari karya musisi tertentu di Indonesia?

G.D.: Saya menyukai karya beberapa teman musisi saya, tapi mereka memang tidak terlalu terkenal di Indonesia. Namun begitu, mereka punya basis penggemarnya sendiri. Saya juga suka suaranya Judika, saya suka warna suaranya. Sementara yang lain, saya masih terus mencari tahu. Saya suka musik yang dinamis. Sering kali di radio saya mendengar musik Indonesia cenderung sendu, bertemakan tentang cinta atau kesedihan.

R: Hal apa yang Anda lakukan di waktu luang, dan adakah rencana di masa depan yang melibatkan kolaborasi antara musisi Rusia dan Indonesia?

G.D.: Saya mengajar biola. Saya punya beberapa siswa di sini. Jadi, saya akan terus melatih mereka. Ini semacam privat. Saya senang jadi guru. Saya senang berbagi pengalaman saya dengan anak-anak, bahkan saya pun dapat banyak pengalaman dari mereka. Selain itu, tahun depan saya mungkin akan mengerjakan beberapa proyek solo saya.

Terkait kolaborasi, saya ingin menyampaikan bahwa saya sedang mengerjakan proyek konser solo saya di Rusia dengan Philharmonic Orchestra yang akan diadakan pada November tahun ini. Yang unik dari proyek ini, konser ini diadakan di luar Indonesia, tapi tentang Indonesia. Saya ingin memasukkan banyak nuansa musik Indonesia di sana, dan saya ingin membuat “jembatan” antara budaya kedua negara kita. Saya mau buat konser tematik. Jadi, mungkin di konser itu akan ada peragaan busana batik, atau mungkin ada pameran kopi Indonesia, dan sebagainya. Jadi, saya harap pada November nanti semuanya akan berjalan lancar. 

R: Apa yang paling Anda sukai dari Indonesia?

G.D.: Saya suka iklim di Indonesia. Saya tidak bisa bilang Jakarta sebagai tempat yang ideal, tapi saya suka udara di Bandung dan Bali. Saya suka masakan Indonesia. Pada umumnya, saya suka orang Indonesia. Orang-orang di sini sangat baik, sangat terbuka, khususnya orang-orang yang berasal dari luar megapolis. Saya merasa mereka lebih ramah — orang-orang Bali khususnya sangat ramah, sementara orang-orang di kota besar biasanya — mungkin — karena lebih tekanan, mereka cenderung lebih individualis; kurang peduli. Namun, saya bertemu banyak orang-orang yang menarik di sini. Saya juga suka dengan bahasa Indonesia. Saya mempelajari bahasa ini sendiri. Saya coba berbicara dan belajar dengan mendengarkan orang-orang berbicara satu sama lain.

Saksikan penampilan German secara langsung di Pusat Kebudayaan Rusia, Sabtu, 12 Maret 2016 >>>

 

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki