Teh jamur.
Anna KharzeevaKami menyukai teh kami di Rusia, dan itu telah demikian adanya sejak lama. Itu dimulai dengan sbiten’ — sebuah minuman panas yang terbuat dari herbal dan rempah — dan perlahan berganti menjadi teh sungguhan, dengan penggunaan samovar untuk memfasilitasi tradisi minum teh dan menjadi dekorasi yang cantik untuk dilukis.
Kini, beragam teh tersedia di restoran, kafe, dan rumah-rumah Rusia — hitam, hijau, merah, buah, rempah, dan dengan berbagai campuran unik seperti layaknya koktail di bar mewah.
Kami (atau setidaknya saya) menyukai teh karena dapat menghangatkan tubuh di hari-hari yang dingin, menyediakan peluang yang baik untuk menunda pekerjaan, dan wadah untuk bersosialisasi dan makan permen.
Teh harus disimpan di tempat kering, di dalam wadah yang tertutup rapat, jauh dari benda yang berbau kuat. Sebelum menyeduh teh, kita perlu membilas daun teh dengan air panas agar daunnya hangat. Kemudian, siramkan air rebusan yang sudah didinginkan — pertama, tak lebih dari dua pertiga volume ceret. Setelah menyeduh teh, tutup ceret dengan handuk atau kain sekitar lima menit. Lalu, tambahkan air dan tuangkan ke dalam gelas. Anda tak boleh menaruh ceret berisi teh di atas api. Itu jelas akan merusak rasa teh. Menyeduh teh dengan air mendidih juga menghilangkan rasanya.
Saat saya masih kecil, pilihan teh lebih terbatas. Semuanya hitam, meski sudah tersedia teh dengan tambahan rempah dan beri. Beragam selai juga disajikan. Adik saya sangat menyukai teh manis, dan saat masih kecil tentu kami bilang 'teh kakek yang terbaik!'. Kami berhasil menyelidiki rahasia di balik kehebatan 'teh kakek', yakni menambahkan tiga sendok gula di tiap cangkir.
Resep untuk membuat teh di buku-buku tentu melibatkan teh hitam. Sebuah buku menjelaskan bahwa teh muncul di Rusia dari Georgia, Azerbaijan, dan Krasnodar, dan teh Soviet 'selalu alami'. Ini juga menjelaskan hal yang tak pernah saya pikirkan, bahwa pada masa Uni Soviet teh hijau memang ada, tapi hanya diminum di Timur Jauh Rusia dan di republik Asia Tengah.
“Pada masa perang, kami menggunakan wortel kering dan daun beri untuk membuat 'teh',” kata nenek. “Setelah perang, kami minum banyak teh — secangkir teh dan sandwich merupakan makanan sehari-hari. Teh yang paling dicari adalah teh India, tapi tak mudah untuk mendapatkannya". Pada zaman Soviet teh pernah disediakan di dalam bungkusan makanan yang diberikan pada acara-acara khusus, tapi tak selalu teh India bermerek 'Tiga Gajah'. Di desa, orang-orang meminum teh dari samovar. Mereka minum berjam-jam, satu keluarga bisa menghabiskan sepuluh liter, menggunakan cangkir dan tatakannya, menuangkan teh ke atas tatakan dan meminumnya dari situ.
Saat saya tumbuh besar, kami juga memiliki tipe minuman lain, yakni 'teh jamur', yang merupakan kombinasi ragi dan bakteri dicampur dengan teh manis. Minuman tersebut terlihat seperti ubur-ubur mengapung di cangkir besar teh. Airnya akan berubah kuning dan bersoda, dan akan terasa sedikit asam. Di atas toples terdapat kain kasa yang diikat dengan karet untuk menyaring 'teh'. Teh itu diyakini sangat menyehatkan dan masa kecil saya sering diawali dengan segelas 'jamur' menggelitik tenggorokan saya yang sakit.
Teman-teman yang menyambangi saya tak selalu tahu apa itu, namun selalu mendapat 'jamur' kami — nenek saya sangat murah hati — dengan petunjuk bagaimana menggunakannya. Jamur itu lalu akan tumbuh di toples lain dan menggelitik tenggorokan anak-anak lainnya.
“Semua keluarga yang saya kenal punya jamur teh. Minuman itu dipercaya bisa menyembuhkan segala jenis penyakit. Namun suatu hari itu menghilang — saya tak ingat kenapa dan bagaimana bisa terjadi!” kata nenek mengeluh.
Warga Rusia kini tak lagi minum teh jamur dan menggunakan samovar, tapi kami masih tetap mencintai teh kami. Saya meminum lima gelas teh selama menulis ini — teh membuat saya tetap hangat, dan saya butuh dua jam tambahan untuk menyelesaikannya!
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda