Foto: Galina Babich
Di sebuah ruangan berukuran sedang, ada seorang anak kecil berumur sekitar 10 tahun sedang duduk di belakang meja pendek dengan sebuah buku tebal terbuka di hadapannya. Anak tersebut duduk tegak, menengadahkan kepalanya sambil tersenyum. Ia tidak dapat melihat saya. Anak tersebut membalikkan lembaran kosong dengan tangannya. Buku di depannya adalah Alquran bertuliskan huruf Braille yang diperuntukkan bagi para tunanetra. Imam Masjid Yardem Ildar Bayazitov bercerita bahwa anak itu datang dari Belgia beberapa bulan lalu dan kini telah sangat maju dalam mempelajari Alquran.
Sejak 2002, Ildar menjadi imam di sebuah masjid kecil bernama Sulaiman di Desa Levchenko, yang terletak di pinggiran Kazan. Di Masjid Sulaiman Ildar memulai usaha mulianya membantu para tunanetra dan umat muslim yang memiliki pendengaran kurang baik, penderita lumpuh otak, dan pengunjung masjid lain yang tidak mendapatkan banyak perhatian di masjid pada umumnya.
Suatu hari, Ildar mengumpulkan seluruh umat muslim tunanetra dan berkata, “Ayo kita berdoa berjamaah, berdoa kepada Allah agar para petinggi negara kita mendengar dan memerhatikan kita, sebab kita di sini sudah terlalu sesak,” kata Ildar. Beberapa hari kemudian, Ildar diberitahu bahwa esok harinya Walikota Kazan Ilsur Metshin akan mengunjungi masjid tersebut. “Itu benar-benar hal yang mengejutkan. Beliau datang dan mencari tahu tentang kegiatan kami. Ia lalu berbincang-bincang dengan para murid tunanetra. Setelah itu, beliau keluar dan berkata, ‘Mari kita pikirkan cara untuk mengembangkan karya Anda’,” kenang Ildar.
Metshin menawarkan Ildar untuk memilih tempat pembangunan komplek masjid yang baru. Mereka kemudian menemukan sebuah lahan yang cukup luas, dikelilingi oleh lingkungan perumahan yang memang dihuni oleh banyak tunanetra. Tak jauh dari sana ada balaikota untuk komunitas tunanetra dan perpustakaan Kazan bagi tunanetra. Di lapangan terdapat lampu lalu lintas dengan sistem suara. Semua tunanetra di Kazan pasti tahu tempat itu.
Ketika itu, Metshin bertanya berapa luas tanah yang dibutuhkan untuk masjid. Ia memperkirakan sekitar setengah hektar. Namun, Ildar menyatakan mereka membutuhkan tempat tersebut secara keseluruhan. “Kami butuh tanah lapang agar para tunanetra dapat berjalan santai di sekeliling masjid, serta lapangan futsal dan halaman bermain anak-anak agar penduduk sekitar dapat membawa anaknya bermain di sini. Selain itu, saya bilang kami perlu lapangan parkir di dua sisi. Mungkin itu terkesan terlalu ambisius, tapi permintaan kami didengar. Kini, di sini lampu menyala di mana-mana pada malam hari. Banyak orang yang datang ke taman ini sekedar untuk beristirahat,” tutur Ildar.
Para penyandang tunanetra juga berusaha keras mewujudkan proyek Masjid Yardem yang unik tersebut. ‘Yardem’ sendiri berarti ‘pertolongan’ dalam bahasa Tatar. Arsitek ternama Tatarstan Aivar Sattarov diundang untuk mewujudkan ide para tunanetra. Aidar adalah arsitek yang membangun masjid terbesar di Rusia dan Eropa, Masjid Qolsharif.
Masjid Yardem pun dibangun. Pembangunan masjid memakan waktu lima tahun. Pada seluruh ruangan yang ada di dalam komplek masjid besar tersebut, setiap pintunya terdapat dua tabel: satu berisi tulisan keterangan bagi orang biasa, dan satunya ditulis dengan huruf Braille. Di beberapa kamar ada tombol khusus yang bila ditekan akan menunjukkan kemana pintu tersebut akan membawa Anda.
Pegangan bewarna kuning cerah tersedia di sepanjang dinding bangunan. Ruang doa pun dilapisi karpet unik yang memiliki ketebalan bervariasi, sehingga para tunanetra dapat merasakan perbedaan ketebalan dan mereka dapat berdiri di tempatnya masing-masing sambil membentuk barisan teratur tanpa perlu dituntun orang lain. Di masjid ini juga terdapat ruang berobat dan kamar relaksasi dengan alat pijat khusus. Ada pual dapur yang digunakan para tunanetra untuk memasak serta ruang kerajinan tangan tempat mereka membuat karya seni. Bahkan, ada meja ping pong khusus yang memantulkan suara bola ping pong secara beragam sehingga pemain dapat belajar mengorientasikan dirinya terhadap lingkungan barunya. Ini bukan hiburan belaka, namun merupakan bagian dari program rehabilitasi bagi tunanetra.
Walau Juli lalu, Masjid Yardem genap berusia satu tahun. Selama masjid ini berdiri, sudah lebih dari 600 tunanetra yang telah mengikuti kursus rehabilitasi dan mendapat pengetahuan dasar-dasar agama Islam.
Ildar, sang pemimpin masjid menjelaskan mereka ingin membuat tiga kamar untuk rehabilitasi anak-anak dengan autisme, penderita down syndrome, danlumpuh otak. Menurut Ildar, banyak anak tunanetra yang memiliki kecacatan yang lain. “Setiap kelompok membutuhkan pendekatan yang berbeda dan kami sudah menyiapkan semua yang dibutuhkan,” kata Ildar.
Alquran Braille
Direktur Pusat Rehabilitasi dan Pengajaran Tunanetra Malika Gelmutdinova menjelaskan tujuan utama mereka ialah menjadikan hari-hari para tunanetra penuh kebahagiaan. Ia bercerita ada seorang pria yang datang dari Nizhnekamsk, sebuah kota di dekat Kazan.
Ia kehilangan keluarganya dalam sebuah kecelakaan mobil. Istri dan anak-anaknya meninggal dunia, sedangkan ia sendiri menjadi buta. “Ia terus menangis sepanjang waktu! Saya belum pernah melihat seorang lelaki menangis seperti itu. Ia tidak ingin hidup, ia tidak mengerti mengapa orang lain bisa tertawa dan bersenda gurau di saat ia masih bersedih. Kami lalu berupaya menghibur dia. Perlahan, ia merasakan perhatian dari orang lain dan dapat berdamai dengan dirinya sendiri,” tutur Gelmutdinova. Setelah itu, sang lelaki mulai berubah. Ia terus datang ke masjid tersebut, belajar salat dan membaca ayat Alquran. Tak lama, ia kemudian menikah dengan seorang perempuan asal Zelenodolsk yang juga memiliki gangguan penglihatan. Kini, lelaki itu mengajarkan teknik orientasi dan mobilitas bagi para tunanetra.
Malika Gelmutdinova bukan sekedar seorang pengajar agama Islam bagi tunanetra. Ia juga merupakan pencipta metode unik yang digunakan oleh para tunanetra muslim di seluruh Rusia. Gelmutdinova sendiri menguasai sistem Braille dalam bahasa Rusia, Tatar, dan baru-baru ini dalam bahasa Arab. Setiap malam Malika menyusun panduan pengajaran khusus agama Islam bagi muridnya. Ia sendiri yang melubangi lembar-lembar kertas untuk mencetak huruf Braille. Dari beberapa lubang tersebut, terbentuklah satu huruf.
Pada 2006 lalu, Malika berangkat haji. Ia mencari Alquran yang ditulis menggunakan sistem Braille di Mekkah, Madinah, dan Jeddah. Ia akhirnya menemukan komunitas tunanetra di Riyadh yang memberi hadiah berupa 100 buah Alquran bagi Malika. Itu adalah Alquran pertama untuk tunanetra yang masuk ke Rusia.
Malika bercerita, kini para muridnya sudah berkembang pesat. “Mereka membuka pusat pengajarannya sendiri, seperti di Dagestan, Chechnya, hingga masuk ke universitas muslim dan umum di Rusia. Ada yang sudah mendapatkan gelar sarjana bidang kedokteran, hukum, dan psikologi. Orang-orang dari Blagovesyensk, Vladivostok, Khabarovsk, dan Magadan datang pada kami. Bahkan dari Kazakhstan, Kirgistan, Uzbekistan. Ada juga permintaan dari Spanyol dan AS. Namun, belum ada yang datang dari Arab, mungkin karena kendala bahasa,” kata Malika.
Tahun lalu, Malika masuk dalam daftar tokoh “Perempuan Paling Berpengaruh di Tatarstan”. Buku karya Malika, Zryachim o nezryachikh (Panduan Mengenai Tunanetra untuk Orang Awam) sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar ajaran yang ada di buku tersebut dapat digunakan di pusat perawatan penyandang tunanetra di Eropa.
Ketua Persatuan Perempuan Islam Rusia: Larangan Penggunaan Jilbab adalah Pelanggaran Hak Asasi
Perbankan Syariah Rusia Tersandung Undang-Undang
Muslim di Rusia, Antara Iman dan Pekerjaan
Permintaan Hotel Berstandar Halal di Rusia Meningkat
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda