Pada sesi pertama, pembicara berkenalan dengan para siswa dan menceritakan siapa itu orang-orang berkebutuhan khusus.
‘Pelajaran kebaikan’ diselenggarakan oleh Komunitas Publik Penyandang Disabilitas Perspektiva. Komunitas tersebut mengembangkan sebuah program khusus untuk setiap kelompok usia, masing-masing terdiri dari tiga sesi.
Setiap sekolah dapat mengundang pembicara dari komunitas tersebut untuk meluruskan persepsi mengenai orang-orang berkebutuhan khusus. Hingga saat ini, ‘pelajaran kebaikan’ telah diikuti oleh sekitar 1.800 siswa.
Tentang Pelajaran
Pada sesi pertama, pembicara berkenalan dengan para siswa dan menceritakan siapa itu orang-orang berkebutuhan khusus.
Alexander Zaykin, seorang tunanetra, dan Julia Kuleshova, seorang perempuan tunawicara, menjelaskan hal tersebut pada para murid kelas dua di sebuah Sekolah Dasar Rusia. Anak-anak berusia delapan tahun tersebut menyimak dengan saksama dan bersemangat. Seorang anak perempuan terkejut dan bertanya, “Lalu apa yang Bapak lihat dengan mata Bapak? Warna hitam?” tanya gadis kecil itu. “Tidak, malah sebaliknya, yaitu sesuatu yang terang namun berkabut tipis. Apakah kalian pernah menonton film Hedgehog in the Fog?” jawab Alexander sembari tersenyum.
Zaykin dan Kuleshova lalu menjelaskan kepada anak-anak cara yang benar untuk memanggil para penyandang disabilitas agar tidak menyinggung perasaan mereka. Anak-anak diajari menggunakan istilah ‘tunanetra’ alih-alih ‘buta’, ‘tunarungu’ alih-alih ‘tuli’, dan ‘orang-orang berkebutuhan khusus’ alih-alih ‘penyandang cacat’.
Kemudian, para siswa tersebut diajak bermain ‘Tiru Aku’. Banyak dari mereka yang bersedia secara sukarela. Para siswa diminta untuk berjalan dengan mata ditutup untuk mencari mainan hanya berdasarkan petunjuk seorang teman, melompat dengan satu kaki, atau membuka kancing baju dengan satu tangan. Ketika seorang anak laki-laki kesulitan melakukan salah satu tugas itu, ia tidak sengaja menggerutu, “Lebih baik mati saja kalau begini.” Melakukan hal-hal tersebut sungguh tidak mudah. Anak-anak mulai memahami kesulitan yang dialami oleh para orang-orang berkebutuhan khusus dalam menjalani keseharian mereka.
Sesi kedua dimulai dengan permainan yang disebut ‘Mencari Pekerjaan’. Anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok dan diberi tugas untuk membuat daftar pekerjaan yang cocok untuk orang-orang berkebutuhan khusus. Kelompok pertama yang bertugas membuat daftar pekerjaan untuk tunarungu dan tunawicara menuliskan pekerjaan seperti pembalap, pemain akrobat, dan pilot. Kelompok kedua mendaftar pekerjaan untuk orang yang tidak memiliki lengan. Mereka menulis pekerjaan seperti manajer, guru, dan peselancar indah. Kelompok ketiga menulis pekerjaan untuk tunanetra seperti tukang pijat, psikolog, dan operator mesin. Dalam diskusi selanjutnya, daftar tersebut ditambah dan anak-anak diberi tahu pekerjaan apa saja yang benar dan mana yang keliru.
Pada awal pelajaran, para siswa ditanya apakah orang-orang berkebutuhan khusus dapat bekerja, dan pendapat mereka beragam. Namun, setelah permainan itu, mereka pun yakin bahwa orang-orang ini juga bisa mendapatkan pekerjaan yang cocok dan menjalani kehidupan dengan sejahtera.
Alexander kemudian menunjukkan ‘telepon bicara’-nya kepada anak-anak itu dan menjelaskan bahwa tunanetra juga dapat membaca, menulis, serta menggunakan telepon dan komputer. Siswa kelas satu tampak sangat antusias ketika melihat aksara Braille dan sebuah peta khusus.
Di sesi ketiga, anak-anak telah mulai paham dan dapat menyebutkan hambatan-hambatan bagi penyandang disabilitas yang ada di dunia luar dan bagaimana cara mengatasinya. Kemudian, mereka memainkan permainan ‘Kita Berbeda’. Para siswa maju ke papan tulis secara berpasangan dan menuliskan daftar perbedaan di antara teman-teman sekelas mereka. “Dima, kamu punya bintik-bintik dan aku tidak. Kirill, kau tidak bisa diam dan aku pendiam,” demikian salah satunya. Melalui permainan tersebut, anak-anak dapat memahami sebuah gagasan yang sangat penting, yakni bahwa kita semua berbeda, tetapi kita dapat berkomunikasi sebagai dua pihak yang setara.
Kemudian anak-anak itu menonton beberapa video hebat antara lain tentang seorang musisi Korea yang sangat sukses meski tidak memiliki lengan dan seorang profesor Rusia yang dihormati meski tidak dapat melihat dan mendengar serta bergerak menggunakan kursi roda.
Usai pelajaran, para siswa menyampaikan bahwa mereka telah mendapat banyak pelajaran yakni tentang kebaikan, rasa hormat, dan kewajiban untuk saling membantu. Mereka juga menyadari bahwa “kita dapat berteman dengan semua orang.”
Kerja Sama Perspektiva dengan Sekolah
Julia dan Alexander mulai mengadakan pelajaran kebaikan belum lama ini. Julia adalah seorang psikolog terlatih, sehingga ini merupakan pekerjaan yang sangat cocok untuknya. Sementara, Alexander pernah bekerja sebagai guru sejarah di sebuah sekolah selama 15 tahun, maka ia sudah terbiasa bekerja dengan anak-anak.
“Ini sesuatu yang diperlukan tidak hanya oleh kami, tetapi oleh sekolah. Ini menunjukkan kepada anak-anak bahwa penyandang disabilitas sama seperti orang lain. Mereka dapat berkomunikasi dan berteman dengan orang-orang tersebut,” kata Alexander.
Lembaga Perspektiva telah berjuang melawan stereotip terhadap para penyandang disabilitas dan telah mengusahakan keterlibatan mereka dalam semua aspek masyarakat selama lebih dari 15 tahun. Pelajaran kebaikan telah diselenggarakan di Moskow selama sepuluh tahun terakhir. Saat ini, 20 sekolah telah berpartisipasi dalam program tersebut. Pekerja sosial Irina Zakharova menyatakan bahwa setelah pelajaran itu, sikap para siswa berubah. Mereka menjadi lebih baik hati, lebih toleran, lebih dewasa, dan mau bersimpati.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda