Perjuangan Perempuan Rusia Abad Pertengahan Melawan Kekerasan Domestik

Philip Malyavin, "Gadis Petani", 1920

Philip Malyavin, "Gadis Petani", 1920

I. I. Mashkov Museum/Public Domain
Di Rusia pada abad pertengahan, memukuli istri dengan tujuan 'mendidik' diperbolehkan — bahkan dianggap perlu. Para wanita harus mencari cara untuk melindungi diri sendiri dari kekejaman suaminya.

Pada 1647, seorang perempuan Rusia bernama Avdotya melaporkan suaminya, Nikolay: "Dia merantai kaki saya, mengikat saya ke balok langit-langit, menyiksa dan memukuli saya, dan menggantung saya seharian". Kasus kekerasan terhadap istri merupakan hal yang umum terjadi di Rusia. Bahkan, ada panduan mengenai tata cara menghukum istri yang tak patuh dalam Domostroy — sebuah kumpulan peraturan rumah tangga yang terkenal pada abad ke-16 lengkap dengan instruksi untuk kaum bangsawan tentang bagaimana menjalani kehidupan keluarga dan agama yang baik (menurut standar pada zaman itu): "Hukumlah dia secara tertutup, tetapi setelah menghukumnya, perlakukan dia dengan cinta".

Mendidik dengan memberi pukulan

Sayangnya, kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang lumrah di Rusia. Situasi serupa juga terjadi di Eropa pada masa itu, sejarawan Nada Boszkowska mengungkapkan bahwa buku-buku pada masa itu menganjurkan para suami untuk "menghukum" dan "mengajari" istri mereka demi menjaga kontrol dan ketertiban patriarki di rumah.

Sering kali, kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi ketika sang suami sedang mabuk. Di Rusia selatan, seorang ataman dari Usman mencekik istrinya yang tidak berbusana lalu mengikatnya ke alat pembajak, dan sebagainya. Dokter Inggris Samuel Collins, yang menjadi dokter pribadi Tsar Alexis I dari 1659-1666 pun mengungkapkan bahwa pernah terdapat kasus ketika seorang pendeta memukuli istrinya dengan cambuk, lalu memakaikan istrinya sebuah gaun yang sudah disiram dengan vodka, dan membakarnya hidup-hidup. Pendeta lain juga tercatat pernah merantai istrinya dan melukai tubuhnya dengan besi panas. Ini hanyalah segelintir kisah horor tentang bagaimana beberapa suami di abad ke-17 memperlakukan istri mereka dengan kejam. 

Insiden pembunuhan dan bunuh diri para istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga berulang kali sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah. Namun, sang suami jarang dihukum — sekalipun dia membunuh istrinya. Kecuali jika sang istri memiliki kerabat yang berkuasa atau jika ada seseorang dari Gereja yang menjadi perantara.

Bahkan dalam kasus-kasus seperti itu, pengadilan dan Gereja sering kali memutuskan untuk mengembalikan istri yang sudah babak belur kepada suaminya. Menurut Gereja Ortodoks Rusia dan hukum perdata Rusia, sang suami diizinkan untuk "mendidik" istrinya, tetapi ia tidak boleh melakukannya "atas rasa dendam", tidak boleh menyiksanya dan mengancam nyawanya. Menurut konsep Rusia, "mendidik" adalah pemukulan "biasa", sementara pemukulan yang "berlebihan" dan "pemukulan yang berujung kematian" dianggap sebagai sebuah kejahatan. 

Apakah para istri Rusia pernah mencoba melawan? Apakah mereka punya pilihan lain? Ya, tentu saja.

Bagaimana perempuan melawan kekerasan dalam rumah tangga

Jika seorang wanita yakin bahwa suaminya sudah membahayakan nyawanya, ia dapat mengajukan pengaduan ke pengadilan — dan sebenarnya ada banyak pengaduan semacam itu dalam dokumen sejarah. Perempuan biasanya datang sendiri ke pengadilan atau diwakili oleh kerabat laki-laki mereka.

Seorang suami pada umumnya tidak akan memukuli seorang perempuan yang masih memiliki ayah atau saudara laki-laki, terutama jika mereka kaya dan berkuasa. Seorang pria dapat dengan mudah mencari keadilan terhadap pria lain di Rusia era pra-Petrine. Namun, tidak demikian halnya dengan kebanyakan perempuan. Apa saja pilihan bagi perempuan yang tidak memiliki kerabat yang berkuasa?

Melarikan diri. Sering kali, seorang perempuan melarikan diri kembali ke keluarganya, kemudian ia berkonsultasi dengan kerabatnya dan menulis pengaduan terhadap suaminya. Dalam kasus seperti itu, para korban akan mengindikasikan bahwa seorang suami telah mengancam nyawa istrinya, yang diakui sebagai alasan resmi untuk mengajukan perceraian dan pengadilan. Pada tahun 1646, istri seorang bangsawan Putivl melarikan diri ke Lituania — meninggalkan ibu dan anak-anaknya, dan dia baru kembali ketika dia mengetahui bahwa suaminya telah meninggal.

Biarawati Biara Rasul Yohanes, di Sura, wilayah Arkhangelsk, awal abad ke-20

Melarikan diri ke biara. Meminta perlindungan kepada uskup, atau komunitas keagamaan — terutama di biara — adalah pilihan yang sangat baik. Biara sering menjadi tempat perlindungan bagi perempuan yang melarikan diri dari kekerasan dalam rumah tangga. Singkatnya, para biarawati ini memahami penderitaan para perempuan yang teraniaya.

Menuduh suami melakukan pembelotan. Seorang perempuan dapat menggunakan cara-cara 'pengecut' sebagai cara melawan perlakuan suami yang kejam. Seorang perempuan bisa saja mengadukan suaminya, dan mengatakan bahwa sang suami berencana untuk membunuh tsar dan kemudian melarikan diri ke luar negeri. Tuduhan semacam itu — bahkan untuk seorang pria yang tidak bersalah — kemungkinan besar akan berakhir dengan kematian karena penyiksaan di penjara Moskow.  Namun, penting untuk membuktikan tuduhan ini — misalnya, dengan menyiapkan surat-surat palsu, atau memiliki saksi yang berani bersumpah di bawah ancaman hukuman mati bahwa sang suami memang berencana melarikan diri ke luar negeri. Jika tidak, hukuman mati akan dijatuhkan kepada semua orang yang terlibat, termasuk semua orang yang menandatangani kesaksian palsu tersebut.

Eksekusi dengan cambuk.

Pengadilan yang adil. Pada umumnya, pengadilan sering memutuskan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan memenangkan pihak suami. Tetapi keputusan pengadilan yang adil dapat terjadi jika seorang perempuan memiliki uang (misalnya, warisan dari ayahnya yang dianggap tidak dapat diganggu gugat dan bukan milik suaminya), atau jika dia memiliki kerabat atau teman yang berpengaruh.

Pembunuhan. Perempuan yang sudah putus asa bisa saja nekat mengakhiri hidup penyiksanya. Pembunuhan terencana terhadap suami yang kejam, bagaimanapun, dapat dijatuhi hukuman mati dengan cara dikubur hidup-hidup. Jadi, para wanita yang membunuh suami mereka sering kali berupaya membuktikan pembunuhan tidak terencana. Pada 1629, Agraphena Bobrovskaya dari Mtsensk menikam suaminya hingga tewas dengan pedang ketika ia sedang tidur, dan bersaksi bahwa ia melakukannya "tanpa sengaja". Agraphena bersikeras bahwa ia tidak memiliki niat untuk membunuh dan bahwa secara umum dia mengalami serangan panik. Bagaimanapun juga, para tetangga bersaksi, bahwa Agraphena tidak memiliki riwayat penyakit seperti yang ia ungkapkan sebelumnya. Kasus ini berakhir tanpa kejelasan, karena tidak ada dokumen pendukung.

Kekerasan dalam rumah tangga terhadap suami

Oleh Ivan Gorokhov, 1929

Jangan mengira bahwa para istri tidak memukuli atau membunuh suami mereka. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap laki-laki juga ada, meskipun kasus-kasus seperti itu jumlahnya jauh lebih kecil.

Pembunuhan terhadap seorang suami mungkin saja terjadi atas rencana jahat untuk menguasai hartanya karena sang istri yang ditinggal menjanda akan menjadi ahli warisnya. Pada 1625, istri Dmitry Yeremeev dari Beloozero mencoba menikam suaminya hingga tewas dengan pisau ketika ia sedang berada di pemandian. Ketika gagal, ia kembali mencoba membunuhnya dengan tombak, tetapi sekali lagi, suaminya selamat dari upaya itu. Selama persidangan, sang istri mencoba untuk membela dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa ia "gila", sehingga ia dihukum cambuk.
Dalam kasus lain, seorang tentara dari Ustyug mengklaim bahwa istrinya mencoba mencekiknya saat tidur, dan kemudian mengancam akan membunuhnya dengan ilmu sihir. Di kota Kursk, istri seorang ikonografer bahkan membayar tiga orang pria untuk membunuh suaminya saat tidur. Russia Beyond mengetahui tentang kasus ini karena para pelakunya tertangkap.

Namun, para perempuan yang memang ingin berpisah dengan suaminya, umumnya tidak sampai melakukan pembunuhan, melainkan lebih memilih untuk menuduh suami mereka melakukan pengkhianatan atau sihir, dan dengan hati-hati menyusun rencana serta menghadirkan saksi dan dokumen palsu.

Pembaca yang budiman,

Situs web dan akun media sosial kami terancam dibatasi atau diblokir lantaran perkembangan situasi saat ini. Karena itu, untuk mengikuti konten terbaru kami, lakukanlah langkah-langkah berikut:

  • ikutilah saluran Telegram kami;
  • berlanggananlah pada newsletter mingguan kami; dan
  • aktifkan push notifications pada situs web kami.

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki