Keluarga Petrov yang beranggotakan tiga orang tengah sakit. Satu per satu terserang flu dan inilah kisah yang terjadi ketika pikiran mereka pun terkena demam.
Ditulis beberapa tahun sebelum pandemi COVID-19, Pterovy v Grippe (2016) merupakan karya pertama Alexey Salnikov sebagai penulis dan laku keras di Rusia.
Sementara kebanyakan penulis modern mengambil latar masa lalu dalam buku-buku mereka, Salnikov justru memilih era pasca-Soviet dan orang-orang biasa sebagai tokoh-tokohnya. Para pembaca kagum dengan plot yang hidup serta suasana modern dengan daya pikat Soviet yang membawa mereka bernostalgia.
Berikut alur ceritanya: Tepat sebelum Tahun Baru, keluarga Petrov jatuh sakit. Namun, alih-alih menjalani swakarantina, sebagaimana yang orang-orang lakukan semasa pandemi kini, mereka menjalani hidup dengan sakit flu — mereka bekerja, menyiapkan liburan, dan membawa putra mereka ke pesta anak-anak untuk merayakan Tahun Baru. Namun, sementara tubuh mereka bergerak, pikiran mereka tidak sehat.
Film ini mengajak penonton menyelami pikiran menyimpang orang-orang terserang flu. Pengalaman psikedelik dan rekaman fantastis membawa kita ke dalam pikiran mereka yang penuh demam.
Salah satu tokoh utama, Pak Petrov, meminum obat yang sudah kedaluwarsa sejak lama. Obat itu sama sekali tidak menurunkan suhu tubuhnya, tetapi malah membawanya ke pusaran situasi yang aneh. Tubuh dan pikirannya tampaknya bertindak secara terpisah dalam pemandangan kabur yang selalu berubah.
Putranya, Petrov Jr., juga terkena flu, tetapi dia tidak boleh melewatkan pesta Tahun Baru karena dia ingin menikmati aneka makanan manis. Dalam benak sang ayah, ia melakukan perjalanan kembali ke masa lalu dan melihat dirinya sebagai anak kecil yang menghadiri pesta yang sama. Kenangan hitam dan putihnya menghidupkan kembali realitas Soviet, Ded Moroz (Sinterklas Rusia) yang mabuk, bahkan dinginnya tangan Snegurochka (cucu dan sekaligus asisten Ded Moroz).
Bagaimanapun, yang paling mengejutkan adalah tokoh Ibu Petrova. Gara-gara flu, pustakawan yang rendah hati dan sederhana itu berubah menjadi maniak yang haus darah.
“Ini adalah semacam flu: penyakit itu menjerumuskan kita ke dalam versi realitas yang sangat aneh dan meresahkan,” tulis seorang komentator di Rotten Tomatoes.
Meskipun sangat surealis, film ini masih sangat realistis. Tiap adegan film bisa menjadi poster kehidupan Rusia, sementara set serta kostumnya telah dibuat ulang dengan cermat.
Dalam nada yang tenang, film ini menggambarkan Kota Yekaterinburg yang suram, berlumpur, dan bersalju pada bulan Desember, hiruk pikuk perayaan Tahun Baru, apartemen dengan karpet pada dinding dan dapur kecil, serta perpustakaan yang berdebu. Bus tua dengan penumpang penggerutu bahkan terasa nyata.
Di antara para pemeran film, tokoh Ibu Petrova diperankan oleh Chulpan Khamatova, sementara Pak Petrov oleh Semyon Serzin yang karismatik “dengan pembawaan yang lesu”, tulisVariety. Selain itu, film ini menampilkan adegan pendek, tetapi berani, yang dimainkan oleh Yulia Peresild, aktris pertama yang melakukan perjalanan ke ruang angkasa.
Beberapa aktor dalam film tersebut mengakui bahwa tawaran Kirill Serebrennikov untuk bergabung dengan para pemain terlalu sayang untuk dilewatkan. Meskipun dikenal luas sebagai sutradara teater terkemuka, Serebrennikov juga merupakan pembuat film yang ulung.
Film-filmnya sering diputar pada festival-festival sinema paling bergengsi: “Playing the Victim” memenangkan Grand Prize pada Festival Film Roma 2006; “Betrayal” dinominasikan untuk penghargaan Golden Lion pada Festival Film Venesia 2012; sementara “A Student” dan “Leto” ditayangkan perdana pada Festival Film Cannes 2016 dan 2018. “Petrov's Flu” adalah film ketiga Serebrennikov yang tayang perdana di Cannes.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda