“Saya merasa nyaman dengan mantel bulu ayah saya. Ketika mengenakannya, Anda seolah-olah berada di dalam rumah Anda yang hangat. Jika ada yang bertanya apakah cuaca di luar dingin, Anda tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya, Anda mungkin berkata, “Ya, mungkin begitu. Namun, bagaimana saya bisa tahu?” tulis Osip Mandelstam tentang shuba Rusia. Memang, shuba yang baik membantu orang yang memakainya tetap hangat, bahkan dalam cuaca yang sangat dingin sekalipun.
Sketsa 'Kedutaan Besar Pangeran Agung Moskow untuk Kaisar Romawi Suci Maximilian II di Regensburg,' 1576. Semua utusan Rusia dalam foto tersebut terlihat mengenakan shuba mewah.
Domain PublikKata shuba diduga diserap ke dalam bahasa Rusia dari bahasa Arab jubba, yang artinya ‘mantel lengan panjang. Sejak zaman kuno, shuba telah menjadi simbol kekayaan di Rusia. Alasannya sederhana, yaitu karena harga bulu selalu mahal (hingga kini). Untuk membuat shuba sepanjang lutut saja, dibutuhkan 50—60 bulu martes (musang leher kuning) atau rubah perak. Sementara, bagi orang-orang biasa, mereka mengenakan mantel yang terbuat dari bulu domba atau kelinci, binatang yang harganya lebih murah dan lebih mudah diperoleh daripada martes, rubah perak, atau musang.
Di Kievan Rus dan di tanah Rusia, sebelum invasi Tatar Mongol pada abad ke-13, bulu pada umumnya digunakan sebagai uang. Ketika diekspor ke Timur Tengah dan Eropa, bulu ditukar dengan perak dan emas sehingga mempromosikan penggunaan logam mulia untuk mencetak koin di Rusia. Setelah invasi Tatar Mongol, beberapa tanah Rusia membayar upeti dengan bulu. Wilayah Novgorod, misalnya, diharuskan membayar dengan bulu musang hitam.
Cuplikan dari film 'Mongol', 2007. Seorang komandan militer Mongol terlihat mengenakan sejenis shuba.
Sergey Bodrov-senior/STV, 2007Komandan berpangkat tinggi Mongol menggunakan bulu Rusia untuk membuat shuba dan memakainya sebagai simbol kekayaan dan kekuasaan. Mereka mengenakan shuba dengan cara yang aneh. Satu shuba dikenakan dengan bulu menghadap ke dalam untuk kehangatan dan satu lagi dengan bulu menghadap ke luar untuk pamer. Cara menunjukkan kekayaan ini kemudian dipinjam oleh para pangeran Rusia dan diikuti para bangsawan, bersama dengan banyak hal lain yang mereka adopsi dari Tatar Mongol. Mahkota tsar Rusia pun dihiasi bulu, mengikuti tradisi Mongol.
Seorang boyar (bangsawan) Rusia mengenakan shuba berkerah bulu.
Konstantin MakovskyNamun, pangeran, bangsawan, dan orang kaya Rusia mengadopsi kebiasaan mengenakan shuba dengan bulu di bagian dalam. Bentuk mantel seperti lonceng (melebar ke bawah), dengan lengan lebar dan kerah bulu. Kulit mantel di sisi luar dilapisi kain mahal, seperti brokat, satin, atau beludru, bersulam emas dan batu mulia.
Orang kaya terkadang mengenakan beberapa shuba sekaligus, terutama pada acara-acara perayaan. Orang-orang yang ingin menunjukkan status sosial mereka bahkan mengenakan shuba pada musim panas. Bayangkan, bagaimana para bangsawan itu berkeringat dengan shuba dan topi bulu tinggi di ruangan pengap istana kayu yang berdebu pada sore yang sibuk!
'Kedatangan seorang voevoda' oleh Sergei Ivanov.
Sergei IvanovPyotr yang Agung menyingkirkan shuba di istana pada abad ke-18. Sejak saat itu, semua pejabat istana, pejabat, dan komandan militer dipaksa mengenakan pakaian gaya Eropa. Namun, pada musim dingin, mereka pasti kembali mengenakan shuba, meski penampilannya sedikit berbeda — tanpa sulaman. Cara mengenakan shuba masih sama, yaitu dikenakan dengan bulu menghadap ke dalam. Hanya orang-orang sederhana yang memakainya dengan bulu menghadap ke luar, seperti yang dilakukan orang-orang pada zaman sekarang. Shuba kontemporer pada abad ke-18 hingga 19 cocok untuk digunakan oleh para kusir atau petani.
Akan tetapi, semua orang, terlepas dari kelas kelas atau nilai shuba yang mereka kenakan, menghadapi masalah yang sama, yaitu kutu. Charles François Masson, orang Prancis yang bekerja di Rusia pada akhir abad ke-18, menulis: “Ketika menghadiri pesta dansa, para wanita Rusia menyerahkan mantel bulu hitam-coklat indah mereka, yang terbuat dari rubah Arktik, cerpelai, martes, dan musang, kepada pelayan mereka. Si pelayan, sambil menunggu majikan mereka selesai berpesta, berbaring di atas mantel bulu tersebut. Seusai pesta, para pelayan memakaikan kembali mantel bulu berharga yang telah penuh dengan parasit kepada sang majikan ... ” Jadi, itu adalah harga tambahan yang harus dibayar untuk memakai shuba. Namun, itu tidak menghentikan para wanita untuk mengenakannya.
'Potret pematung dan arsitek I. S. Zolotarevsky,' 1922, oleh Boris Kustodiev.
Boris KustodievAda aturan tertentu bagi para wanita yang mengenakan bulu. Sejarawan Julia Demidenko mengatakan , “Ada aturan hierarkis dalam mengenakan bulu — tidak berdasarkan kelas, tetapi menurut usia dan status sosial. Wanita usia lanjut mengenakan bulu musang, sementara gadis muda mengenakan bulu tupai Siberia, domba Karakul, atau kelinci.” Gadis-gadis muda diwajibkan mengenakan bulu yang murah, meskipun dengan kekayaan yang mereka miliki memungkinkan mereka untuk mengenakan bulu cerpelai dan musang — begitulah kebiasaannya. Pada akhir abad ke-19, mengenakan shuba dengan bulu di luar bagi anak perempuan dan perempuan dewasa menjadi trendi, untuk menunjukkan keindahan bulunya.
Di Rusia, biasanya tidak ada yang berpikir untuk membuang shuba tua karena karena bulu selalu mahal. Sekalipun sudah usang dan berdebu, shuba masih bisa direnovasi, atau setidaknya bagian yang masih bagus dapat digunakan untuk membuat topi atau kerah shuba lainnya.
Situasinya juga tidak banyak berubah pada masa Soviet. Untuk sebuah shuba yang layak, warga Soviet harus merogoh kocek dalam-dalam. Sementara, ekspor bulu yang sangat penting bagi perekonomian Rusia pun terus berlanjut. Pada kurun 1925—1926, bulu menempati 89,6 persen pangsa ekspor Soviet. Sejak 1930-an, produksi bulu dimonopoli oleh negara. Pada 25 November 1939, pemerintah Soviet melarang produksi dan perdagangan bulu secara perorangan untuk melindungi perdagangan domestik dari para pencari keuntungan.
Seorang perwira intelijen militer Soviet mengenakan shuba, 1943.
Sergey Shimanskiy/MAMM/MDF/russiainphoto.ruEkspor dan produksi sejumlah besar mantel bulu untuk Tentara Merah selama Perang Dunia II telah menghabiskan cadangan hewan penghasil bulu. Pada 1960-an, pasokan bulu alami masih langka. Para manajer produksi bulu mengeluhkan kurangnya pasokan bahan baku bulu yang dikirim ke pabrik bulu berkualitas baik. Mereka hanya menerima hanya sepertiga dari pasokan normal. Pada 1958, Nikita Khrushchev secara aktif menganjurkan pengenalan bulu buatan. Shuba 'domba' dari bulu buatan bisa berharga 1.000 rubel, sementara yang terbuat dari bulu alami harganya 4.000 rubel. Pada saat itu, gaji bulanan petugas kebersihan adalah 30 rubel, pelayan toko 100 rubel, dan seorang pekerja yang sangat terampil bisa menghasilkan hingga 200 rubel. Jadi, bagi kebanyakan orang, sebuah shuba setara dengan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun gaji mereka.
Namun, bulu shuba buatan memiliki kelemahan besar — kehangatannya hanya setengah dari bulu alami. Jadi, orang Soviet tetap lebih menyukai bulu alami dan akan melakukan segala cara untuk mencoba mendapatkan shuba, topi, mantel panjang dari bulu alami, dan menghabiskan banyak waktu untuk merawat dan memperbaikinya.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda