Dari Rambut Palsu Hingga Pencak Silat: Satu Tahun yang Luar Biasa di Kota Bandung

Anak-anak menangkap saya di salah satu taman di kota Bandung. Foto: penulis

Anak-anak menangkap saya di salah satu taman di kota Bandung. Foto: penulis

Saya bukanlah seorang penari profesional. Namun, seni tari telah masuk ke dalam hidup saya sejak musim semi pada 2012 lalu. Di Moskow, kecintaan saya terhadap seni tari dimulai dari tarian ala Bollywood yang sangat saya sukai hingga saat ini. Kemudian saya juga mencoba tari perut (belly dance), dan kemudian tarian yang paling dekat dengan jiwa, pikiran, dan hasrat saya, yaitu tarian grup improvisasi ATS (American Tribal Style). Saya masih berusaha berlatih tarian ATS sampai saat ini dan betapa saya sangat merindukannya selama saya di Indonesia.

Halo! Nama saya Katya Makanina. Saya tinggal, bekerja, dan belajar di kota Moskow. Pada bulan Juni 2014 lalu, saya mengikuti program Darmasiswa 2014-2015. Saya merasa sangat beruntung dapat menghabiskan satu tahun hidup saya di Indonesia, atau lebih tepatnya di kota Bandung, sambil mempelajari tari-tarian tradisional di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), atau yang awalnya dikenal sebagai Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) pada awal masa pendidikan saya di sana.

Blog ini tidak hanya saya dedikasikan untuk pengalaman dalam kehidupan saya saja, tetapi juga untuk seluruh peserta program Dharmasiswa ISBI Bandung lainnya: Angelica (Filipina), Wanombola (Madagaskar), Viktor (Meksiko), Mizhu (Slovakia), Trina (Bangladesh), Ellie (Inggris), Ed (Amerika), dan juga sahabat-sahabat kami, para pengajar, serta mereka yang masuk di dalamnya.

Di Bandung, saya mempelajari tarian tradisional khas Sunda yang menjadi spesialisasi saya di sana. Saya juga mempelajari seni musik tradisional, seni batik, seni bela diri, dan banyak hal lainnya.

Bicara soal seni tari, apa yang menghalangi seorang penari amatir untuk menari di Indonesia? Saya tidak tahu. Namun, satu hal yang pasti, saya tahu apa yang tidak boleh dilewatkan oleh seorang penari ulung agar tidak tampil buruk di Indonesia.

Stagen

Apa itu stagen? Stagen adalah teman terbaik saya, atau lebih jelasnya itu adalah adalah ikat pinggang saya. Stagenlah yang membuat guru pengajar tari jaipongan saya mengomel jika salah satu dari para murid perempuannya lupa untuk memakai stagen—dan sepertinya hal ini juga berlaku untuk para murid pria.

Di dalam kelas seni tari. Foto: penulis

Stagen adalah kain elastis berukuran lebar. Sederhananya, stagen adalah karet yang dikencangkan menggunakan kait atau velcro, biasanya bewarna hitam atau krem. Karet tersebut menjaga punggung penari dari cedera. Para penari juga dapat mengikat elemen-elemen kostum pakaian tradisionalnya, terutama rok, pada stagen. Selain itu, dengan stagen pada rok yang indah, kita dapat mengubah setiap potongan pakaian batik ke dalam ukuran yang tepat. Saya cukup lama mencari stagen di toko-toko aksesoris tari, dan ternyata stagen hanya dijual di toko-toko pakaian dalam saja.

Cuplikan dari film asal Rusia "Dobro Pozhalovat, Ili Postoronniym Vkhod Zapreshon". Foto: penulis

Rambut Palsu

Nomor dua adalah rambut palsu. Sangat-sangat banyak rambut palsu. Pada suatu siang ketika saya membeli penjepit rambut di sebuah toko, saya terkejut dengan ukuran dan ketebalannya. Nenek saya mungkin akan iri dengan penjepit rambut buatan Indonesia. Sering kali beliau berulang kali gagal mengencangkan kunciran rambutnya menggunakan penjepit rambut ringkih buatan masa kini di Rusia.

Bersama teman sekelas setelah ujian. Foto: penulis

Di sisi lain, ketika saya melihat kekayaan dan keberagaman sasak rambut Indonesia, rasa kaget itu pun menghilang. Untuk kostum tarian Jaipong, biasanya digunakan aksesoris berupa gulungan rambut berbentuk seperti bola—"gulungan" tersebut dinamakan sanggul—yang dikenakan pada bagian belakang kepala ke atas. Gulungan tersebut juga akan dihiasi dengan pernak-pernik, seperti bunga, tiara, berlian tiruan, dan lain-lain. Biasanya gulungan pertama dibuat dari rambut sendiri. Setelah itu, gulungan tersebut dikaitkan dengan sanggul (gulungan rambut palsu) dengan menggunakan penjepit rambut.

Sanggul di pasaran biasanya bewarna hitam. Jika saya menari menggunakan sanggul pinjaman bewarna hitam pada saat ujian, maka hal tersebut menciptakan keanehan pada penampilan saya. Oleh karena itu, sanggul itu pun saya cat menggunakan semprotan bewarna yang secara ajaib menyerupai warna asli rambut saya. Para siswi lainnya yang melihat sanggul buatan kebanggaan saya tersebut pun berkomentar, "Eh aneh rambut bule!.

Sanggul baru yang dicat menyerupai rambut saya. Foto: penulis

Kemampuan Bela Diri

Sebenarnya kami tidak harus beradu fisik dalam pelajaran tersebut. Namun, pencak silat (seni bela diri Indonesia) harus dipelajari oleh seluruh penari pemula. Ada beberapa alasan, tapi yang paling utama di antaranya adalah karena gerakan pencak silat didasari oleh gerakan tarian. Selain itu, para penari memerlukan otot kaki yang kuat karena banyak tarian tradisional Indonesia yang mengharuskan kita untuk melakukan posisi kuda-kuda dalam waktu yang lama.

Kami tidak mempelajari pencak silat untuk bertarung. Pencak silat yang kami pelajari bisa dikatakan sebagai pencak silat versi dekoratif (keindahan gerakan). Namun, itu pun tetap membuat kami berkeringat hingga basah kuyup—dalam arti yang sebenarnya! Pengajar kami, Pak Nanang, yang pada pandangan pertama tidak akan menyangka bahwa beliau mempunyai kelincahan dan kemampuan bela diri yang menakjubkan itu, tertawa sambil berkata menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Sunda dan memaksa kami melompat pada lutut yang ditekuk, serta mengajar kami untuk memukul ke arah tenggorokan musuh bayangan, dan Pak Nanang bisa dengan mudahnya memulaskan siswanya dengan satu tangan saja. Beliau memulas para murid “pemula” dan tertawa sambil berteriak, “Sakali deui!” (satu kali lagi). Secara keseluruhan, Pak Nanang ada sosok seperti layaknya guru klasik dalam seni bela diri di film-film aksi.

Saya berfoto bersama teman-teman satu tingkat saya menggunakan seragam pencak silat baru kami. Foto: penulis

Hubungan Khusus

Rasa humor. Interaksi. Saya ingin secara gamblang mengatakan bahwa pada awalnya saya terbawa dengan "ajaran" kehidupan nyata saya di Rusia, yaitu jika kita melakukan sesuatu, lakukanlah dengan serius. Itu juga berlaku terhadap semua jenis hubungan, bahkan lebih baik tampak "kasar" (keras). Saya akui saya menanti sesuatu momen seperti halnya yang ada di film asal Rusia, Plennikov Terpsikhory, yang menampilkan adegan para penari yang melewati berbagai cobaan untuk mencapai kesuksesan. Dalam ingatan, terbersit sosok guru sekolah musik saya yang keras, lalu guru olahraga saya yang menjuluki para murid yang tidak mampu melakukan pull up dengan istilah "karung bertulang". Saya menanti hal serupa dalam kelas-kelas yang saya ikuti di Indonesia, seperti momen ketika di tengah suara napas terengah-engah, ada yang berteriak, "Kaki lebih tinggi, gerakkan pinggul kalian!", tapi ternyata penantian saya tidak terwujud.

Gladi resik sebelum ujian, para pengajar, rekan satu tingkat, dan para pemain musik gamelan. Foto: penulis

Dalam budaya Sunda, pendekatan dalam pengajaran sangatlah berbeda dan saya tercengang dengan atmosfer kelas kami dalam waktu yang lama. Senda gurau yang berisikan berbagai petuah untuk memanggil keseriusan para murid dari para pengajar kerap menghiasi kelas kami. Namun, hal itu berbeda pada saat ujian berlangsung. Dengan melihat kenyataan yang berbeda tersebut, saya merasa sangat bersyukur.

Salah satu ingatan yang paling berkesan bagi saya adalah pada saat ujian seni tari saya yang pertama. Para musisi memainkan gamelan sambil minum kopi dan mengumumkan giliran penampilan saya dengan candaan, "Sekarang akan tampil Ketrin dari Rusia. Mishka, Mishka!" sambil menirukan tokoh Masha dari serial kartun ternama asal Rusia. Dalam sekejap, momen canda tersebut berubah menjadi delapan menit konsentrasi penuh.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki