Saya sedang menunggu di bandara. Foto: penulis
Di bandara Denpasar kami bertemu dengan Bapak Nika Naya, orang yang cukup terkenal di Denpasar karena Pak Nika bekerja bertahun-tahun di bidang budaya dan seni. Kisah hidupnya sangat menarik, dan saya akan menulis artikel khusus tentang Bapak.
Saya ingat kami semua pergi naik mini bus ke desa kami, menyanyikan lagu-lagu, dan tidak bisa percaya kami di Bali. Kami lihat hotel-hotel, kafe, dan kadang-kadang terlihat laut... saya sangat senang. Tentu saja, kebahagiaan seperti ini tidak terasakan setiap hari, tetapi pada saat seperti itu saya yakin bahwa hidup ini indah sekali.
Kami tinggal di desa Munggu, sangat dekat dengan tujuan wisata yang populer, yaitu Canggu, dan jarak desa kami hanya 25 km dari Denpasar. Pertama, kami berhenti untuk makan malam di kafe Bapak Nika Naya dan saya langsung tahu bahwa makanan Bali sangat berbeda dibandingkan dengan makanan Jawa, betul kan?
Saya di desa Munggu, di masa kami tinggal. Foto: penulis
Tentu saja, makan nasi adalah kewajiban di Indonesia, dan sangat menarik bahwa nasinya selalu putih. Kenapa, misalnya, tidak ada nasi lain sebagai lauk-pauk, seperti nasi hitam? Selain itu, semua makanan Bali juga cukup pedas, tetapi bagi saya tampaknya lebih akrab, mungkin karena kombinasi produk yang saya kenal. Misalnya, hanya sayuran dengan daging, ayam dan mie... Tetapi saya sangat heran ketika diberitahu bahwa semua orang Indonesia pakai minyak kelapa untuk memasak. Di Rusia saya belum pernah coba manyak kelapa, karena semua orang menggunakan minyak bunga matahari...
Pada minggu pertama waktu saya di Jakarta, saya pernah mencoba makanan Jawa yang sangat lezat ketika saya pergi ke sebuah kafe lokal di dekat hotel. Di sana, kami makan nasi dengan udang dan nasi yang dibungkus daun pisang. Sangat menarik… mengapa orang Indonesia selalu menggunakan daun pisang, bahkan untuk pencuci mulut? Sepertinya, masak makanan tersebut sulit sekali...
Hadiah bagi para dewa di rumah kami. Foto: penulis |
Ketika kami tiba di desa kami Munggu, Bapak Nika Naya mengatakan kepada kami bahwa kami akan tinggal di sebuah rumah berlantai dua, 20 menit naik sepeda dari laut. Di rumah kami ditemui oleh beberapa guru kami. Setelah memasuki rumah di keranjang termuda diletakkan bunga—hadiah bagi para dewa.
Hampir seluruh penduduk Bali beragama Hindu, dan menurut agama ini, perlu memberi hadiah kepada dewa setidaknya tiga kali sehari. Misalnya, untuk melindungi rumah Anda dari roh-roh jahat dan kemalangan. Hadiah seperti itu bisa dilihat di mana-mana: di dekat rumah, di jalan, bahkan di atas mobil!
Orang Bali ketika sedang membuat hadiah untuk dewa. Foto: penulis
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda