Sanggupkah Sharapova Mengatasi ‘Serena Williams Complex’?

Maria Sharapova dalam pertandingan final tenis tunggal putri di turnamen China Open di Beijing 5 Oktober 2014. Foto: Reuters

Maria Sharapova dalam pertandingan final tenis tunggal putri di turnamen China Open di Beijing 5 Oktober 2014. Foto: Reuters

Musim ini memberi hasil beragam bagi Maria Sharapova, dengan kemenangan yang diikuti kegagalan secara bergantian. Para pengamat berpendapat bahwa petenis Rusia itu masih belum menemukan trik untuk menaklukkan Serena Williams yang tak terkalahkan. Musim depan mungkin akan jadi musim yang sangat menentukan.

Tahun ini menghadirkan kemenangan manis sekaligus kekecewaan pahit bagi Maria Sharapova. Seperti biasa, petenis Rusia tersebut membuka musim di Melbourne. Bedanya, kali ini dia datang ke Australia Open bukan pascaliburan, melainkan setelah mengalami cedera. Hasilnya biasa saja, tapi wajar. Setelah lima bulan beristirahat, ia bisa kembali merasakan atmosfer turnamen saja sudah bagus.

Setelah musim panas di Australia, Sharapova menuju Olimpiade Musim Dingin di Sochi. Ia cukup sibuk di sana. Maria berpartisipasi dalam upacara pembukaan, bekerja sebagai koresponden untuk saluran Amerika NBC, membuka lapangan tenis bagi anak-anak, dan menghadiri sejumlah kompetisi sebagai penggemar olahraga biasa.

Setelah lebih dari sebulan tak bertanding di lapangan tenis, Sharapova kemudian bergegas ke California untuk bertanding kembali dalam turnamen. Akan tetapi, kurangnya latihan dan masalah adaptasi dengan pelatih barunya Sven Groeneveld membuat Sharapova tersingkir dini di Indian Wells. Setelah itu, dengan dukungan timnya, Maria mencapai final di Miami dengan percaya diri, namun harus berakhir dengan menelan kekalahan dari Serena Williams. 

Kemenangan di Lapangan Tanah Liat

Prancis Open tahun ini merupakan salah satu kejuaraan paling berat dalam karir Sharapova. Ia harus beruang meraih kemenangan di ambang kekalahan dalam tiga pertandingan berturut-turut, karena kalah pada dua set awal. Setelah meraih gelar Grand Slam kelimanya, Maria mengakui, “Jika ada orang yang mengatakan pada saya bahwa saya akan meraih gelar Roland Garros lebih banyak daripada gelar lain, saya mungkin akan minum sampai mabuk.”   

Akan tetapi, setelah kemenangan di Paris, petenis Rusia itu tak mampu melanjutkan kesuksesannya. Di Wimbledon, ia hanya berhasil mencapai babak keempat, sedangkan di AS Open, Maria bertahan hingga awal minggu kedua sebelum disingkirkan oleh Caroline Wozniacki dengan ganas. 

Rollercoaster di Asia

Maria membuka seri turnamen Asia di Wuhan, namun tak terlalu sukses. Ia kalah di pertandingan kedua oleh Timea Bacsinszky, yang bahkan bukan petenis yang masuk 50 besar. Sharapova bermain bagus untuk bangkit dari kekalahan tersebut dengan meraih kemenangan pertamanya di Beijing. Ini merupakan peraihan gelar pertamanya di lapangan keras setelah 18 bulan. Berkat kemenangan itu, Sharapova mendapat kesempatan untuk meraih tempat teratas musim ini, yang diperebutkan dalam kejuaraan final WTA di Singapura.

Namun, Maria gagal. Sepuluh tahun sejak kemenangan satu-satunya di Singapura, lagi-lagi ia kehilangan gelar nomor satunya dari Serena Williams, yang menerima trofi dari legenda tenis Billie Jean King.

“Serena Complex”

Menurut pendapat peraih medali perunggu Olimpiade 1992 dan kuarterfinalis tiga turnamen Grand Slam Andrei Cherkasov, Sharapova berhenti berkembang di bawah pelatih baru. “Maria meraih hasil beragam musim ini. Di satu sisi, ia memenangkan Roland Garros dan sejumlah turnamen besar di Madrid, Stuttgart, dan Beijing. Di sisi lain, selain di lapangan tanah liat, ia nyaris tidak pernah menang dan lagi-lagi dikalahkan oleh Serena, yang berarti, dia sama sekali tidak berkembang,” tutur Cherkasov. Ia menambahkan, hasil buruk dalam Final Tur WTA yakni gagal melewati babak penyisihan grup dan bermain dengan gugup membuat orang bertanya-tanya apakah Sven Groeneveld pelatih yang dibutuhkan Sharapova atau ia hanya spesialis pelatih tenis selebriti.

Sementara, pelatih tim nasional tenis perempuan Rusia, pemenang delapan turnamen WTA, dan semifinalis AS Open Anna Chakvetadze percaya bahwa Sharapova mampu mengalahkan Serena. “Saya rasa musim ini sesuai dengan keinginan fans, komentator, dan semua orang kecuali Sharapova sendiri. Ia berharap lebih dari dirinya dan ia memang mampu untuk itu,” kata Chakvetadze. Pelatih tersebut mengaku salut, karena setelah sekian tahun berada di puncak, Sharapova tetap sangat termotivasi untuk menjadi juara.

“Sebelumnya, segalanya mudah untuk Sharapova dari segi psikologis. Ia yang termuda, memiliki prospek, dan bakat. Bakat itu sekarang masih ada, tapi saat ini muncul pemain yang lebih muda yang harus dia hadapi. Perjuangan tanpa henti ini munguras sisi psikologis. Saya pikir Serena lebih lelah lagi. Tahun ini permainan tenisnya tidak seagresif tahun lalu. Tapi menurut saya Maria mampu mengatasi Serena Williams complex. Serena sudah 33 tahun dan setiap tahun ia semakin sulit memulihkan diri setelah satu musim. Jika Sharapova tidak cedera, ia kemungkinan akan menempati posisi puncak dunia di akhir tahun,” kata Chakvetadze.

Menurut Sharapova sendiri, meraih peringkat puncak WTA pada 2015 bukanlah tujuan utamanya. “Tujuan utama saya adalah kemenangan Grand Slam, bukan kembali ke peringkat puncak,” kata Sharapova.

Artikel Terkait

Lagi-lagi, Sharapova jadi Atlet Perempuan Terkaya di Dunia

Sharapova, Seleb Terkaya dari Rusia Versi Forbes

Lima Fakta Mengenai Maria Sharapova

Maria Sharapova Memenangkan Turnamen Prancis Terbuka

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki