Siapa Musuh Bebuyutan Kekaisaran Rusia?

Sejarah
BORIS EGOROV
Sepanjang sejarah, Rusia paling sering berperang dengan Turki, sementara sebagian besar pertikaian dimenangkan oleh pasukan kekaisaran.

Selama empat abad, Rusia dan Kesultanan Turki Utsmaniyah berkali-kali berperang demi menguasai pesisir Laut Hitam, wilayah Balkan, dan Kaukasus. Antara pertengahan abad ke-16 dan akhir Perang Dunia I, kedua negara terlibat dalam belasan bentrokan dan konflik bersenjata. Rata-rata, tentara Rusia dan Utsmaniyah bertemu di medan perang tiap 25 tahun sekali.

Bentrokan militer pertama antara Rusia dan Turki terjadi pada 1541. Pada saat itu, Sahib I Giray, khan Kekhanan Krimea, yang secara politik bergantung pada Kesultanan Utsmaniyah, memulai kampanye militer melawan Moskow dan meminta dukungan Sultan dalam bentuk detasemen yanisari (anggota unit infanteri elite yang membentuk pasukan Sultan Utsmaniyah, pengawal, dan tentara permanen modern pertama di Eropa) dan artileri. Bagaimanapun, pasukan Rusia berhasil memenangkan pertempuran, “mengalahkan banyak orang Tatar, dan menghancurkan senjata-senjata Turki”.

Ekspansi wilayah kekuasaan Ketsaran Rusia ke selatan serta penaklukan Kekhanan Kazan (1552) dan Kekhanan Astrakhan (1556) amat membebani pikiran Sultan Selim II. Gerbang Agung (pemerintah pusat Kesultanan Utsmaniyah) memahami bahwa mereka, sesegera mungkin, harus mendorong Rusia menjauh dari perbatasan Kesultanan Utsmaniyah dan Krimea yang bergantung padanya. Namun, keberuntungan ternyata tak berpihak pada orang-orang Turki. Pada 1569, upaya Utsmaniyah untuk merebut Astrakhan berakhir dengan kegagalan dan, pada 1572, dalam Pertempuran Molodi (50 kilometer dari Moskow), hingga 7.000 yanisari tewas bersama pasukan Krimea Khan Devlet I Giray.

Secara keseluruhan, perang pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 berpihak pada Rusia. Kekaisaran berhasil menghentikan ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Ukraina, mengamankan Kiev dan wilayah di tepi kiri Sungai Dnieper, merebut Benteng Azov di Laut Azov pada 1696 dan mulai membangun pangkalan angkatan laut pertama di sana. Namun, Kampanye Sungai Pruth pada 1711 menjadi tamparan keras bagi Rusia. Kala itu, 80.000 tentara Pyotr yang Agung dikepung di Moldavia oleh 200.000 tentara Turki dan Tatar Krimea. Akhirnya, sang tsar berhasil berdamai dengan musuh dan menyelamatkan pasukannya, tetapi Rusia kehilangan Azov selama hampir seperempat abad.

Salah satu perang terpenting dalam sejarah konfrontasi Rusia-Turki adalah perang tahun 1768—1774. Pada Juli 1770, armada Rusia menyapu bersih armada Turki di Teluk Chesme di Laut Aegea. Dengan kemenangan tersebut, armada Rusia tak hanya menjadi penguasa berdaulat di Laut Aegea, tetapi juga di seluruh Laut Tengah timur. “Air tampak kotor, bercampur darah dan abu. Mayat-mayat yang gosong terbakar terombang-ambing di tengah laut, banyak sekali sehingga berlayar menuju pelabuhan pun sulit,” kenang Pangeran Yuri Dolgorukov.

Kemenangan di laut diikuti oleh keberhasilan di darat: Rusia mengalahkan Turki di Larga, Cahul, dan Kozluca. Untuk sementara waktu, Beirut, salah satu pelabuhan terpenting Kesultanan Utsmaniyah, juga dikuasai Rusia. Akibat kekalahan Turki, Krimea akhirnya memerdekakan diri dari kesultanan (semenanjung itu kemudian menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia pada 1783). Selain itu, Rusia berhak untuk mengerahkan armada angkatan lautnya di Laut Hitam dan dapat dengan bebas melewati Selat Bosporus dan Dardanella.

Dalam perjalanan konflik militer berikutnya hingga pertengahan abad ke-19, Rusia berhasil mengusir Kesultanan Utsmaniyah yang kian lemah dari wilayah Laut Hitam bagian utara, Kaukasus, dan Balkan. Keberuntungan lagi-lagi berpihak pada Rusia dalam Perang Krimea tahun 1853—1856. Dalam Pertempuran Sinope tanggal 30 November 1853, armada Rusia meluluhlantakkan armada Turki, menenggelamkan 15 kapal, menewaskan lebih dari 3.000 pelaut, dan menangkap komandan Turki, Wakil Laksamana Osman Pasha, sebagai tawanan. “Dengan penuh sukacita, saya perintahkan Anda untuk memberi tahu para pelaut pemberani KITA bahwa saya berterima kasih kepada mereka atas prestasi yang diraih demi kejayaan Rusia dan demi kehormatan bendera Rusia. Saya senang melihat bahwa kenangan akan Pertempuran Chesme masih segar dalam ingatan Angkatan Laut Rusia dan bahwa anak cucu kita patut berbangga pada kakek buyut mereka,” tulis Kaisar Nikolay I kepada Menteri Angkatan Laut Aleksandr Menshikov.

Pembantaian Sinope, sebagaimana pers Inggris menjuluki pertempuran tersebut, mendorong Inggris Raya, Prancis, dan Kerajaan Sardinia untuk bertempur di pihak Turki. pada akhirnya, Turki dan sekutunya memenangkan peperangan dengan memanfaatkan kegagalan teknis tentara Rusia. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Setelah menandatangani Perjanjian Paris, perjanjian yang mengakhiri Perang Krimea, Rusia harus menarik armadanya dari Laut Hitam (pembatasan itu dicabut pada 1871).

Setelah Turki secara brutal menekan pemberontakan Kristen di Bulgaria dan Bosnia pada tahun 1876 dan 1877, gelombang kemarahan melanda Eropa. Pada 24 April 1877, Rusia menyatakan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah demi membebaskan orang-orang Balkan. Meski awalnya sempat kesulitan, kampanye militer tentara Rusia berhasil membuahkan hasil dan, pada Januari 1878, mendekati Istanbul. Di bawah ketentuan Perjanjian San Stefano, Rumania serta Serbia dan Montenegro secara resmi dinyatakan merdeka (secara de facto, kedua negara itu sebetulnya telah lama merdeka dari kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah), Turki menyerahkan sebagian wilayahnya di Kaukasus dan Balkan ke Rusia, dan juga memberikan otonomi kepada Bosnia dan Herzegovina. Namun, hasil utama perdamaian itu adalah pembentukan kembali negara Bulgaria yang mencakup wilayah yang luas dari Laut Hitam hingga Laut Aegea. Selama beberapa tahun pertama, Bulgaria tetap berada di bawah pemerintahan Rusia.

Bagaimanapun, penguatan posisi Kekaisaran Rusia di wilayah Balkan membuat Barat ketar-ketir. Di bawah tekanan diplomatik selama Kongres Berlin pada musim panas 1878, ketentuan Perjanjian San Stefano direvisi. Kemerdekaan Rumania, Serbia dan Montenegro diakui, tetapi Bosnia dan Herzegovina malah diduduki “sementara” oleh pasukan Austria-Hongaria alih-alih diberikan otonomi (tak sampai 20 tahun kemudian, wilayah itu akan berada di bawah kekuasaan Wina). Alih-alih mendirikan Bulgaria, perjanjian yang direvisi justru membentuk sebuah negara vasal (negara yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan negara lain secara internasional) dengan ibu kota di Sofia dan sebuah provinsi otonom di dalam Kesultanan Utsmaniyah yang disebut Rumelia Timur. “Eropa hanya memberi kami hak untuk mengalahkan Turki, menumpahkan darah orang Rusia, dan membelanjakan uang Rusia, tetapi sama sekali tidak memberi manfaat bagi kami atau bagi saudara-saudara seiman kami sesuai keinginan kami,” keluh Duta Besar Rusia untuk Istanbul Nikolai Ignatyev.

Konflik bersenjata terakhir dalam sejarah konfrontasi antara kedua negara terjadi saat Perang Dunia I. Tentara Rusia tak hanya berhasil menggagalkan rencana Turki untuk merebut wilayah Kaukasus Selatan Rusia, tetapi juga meluncurkan serangan balasan berskala besar. Pada awal 1916, pasukan Jenderal Nikolai Yudenich mengalahkan Tentara Turki ke-3, merebut Kota Erzurum yang strategis, dan membuka jalan ke jantung wilayah Utsmaniyah.

Namun, pasukan Rusia tidak ditakdirkan untuk menghancurkan Turki. Revolusi Februari 1917 tak hanya menyebabkan kejatuhan monarki Rusia, tetapi juga kejatuhan tentara Rusia. Pasukan Turki berhasil merebut kembali seluruh kawasan Anatolia Timur, bahkan merebut wilayah Batumi dan Kars milik Rusia. Namun, nasib Kesultanan Utsmaniyah telah ditentukan dan Gerbang Agung kini di ujung tanduk.

Setelah Perang Dunia I usai, kedua musuh bebuyutan memasuki periode yang takbiasa dalam hubungan bilateral mereka. Kaum Bolshevik mendukung gerakan nasionalis Turki Kemal Atatürk dalam perjuangannya melawan intervensi asing. Alhasil, Soviet Rusia dan Republik Turki yang berdiri pada 1923 di atas reruntuhan Kesultanan Utsmaniyah malah menjadi sekutu meski persahabatan itu tak bertahan lama.

Rusia bermimipi menguasai selat-selat Konstantinopel. Namun, setiap kali peluang itu muncul, Rusia memilih untuk tidak melakukannya.